Ada tulisan menarik di Kompas, 7 September 2012 di hal. 15 di kolom bahasa. Judulnya “Koaya Roaya” yang ditulis oleh cerpenis Rainy MP Hutabarat.
Intinya tulisan itu menyebut bahwa belakangan ini ada beberapa kata sifat yang diberi imbuhan agar lebih bermakna penekanan. Di situ dicontohkan misalnya dalam judul tadi 'koaya roaya' (kaya raya), ueenak (enak sekali), buannyak (banyak sekali), rruar biasa (luar biasa), top markotop, makyus, dll.
Lebih lanjut, juga disebut kalau imbuhan-imbuhan tadi tidak dipakai pada kata yang menggambarkan yang menyedihkan, memprihatinkan dan semacamnya. Tidak akan mungkin orang akan mengatakan “jumlah petani yang mengalami kerugian gagal panen buanyakk”. Jadi imbuhan tadi lebih sering dipakai untuk menggambarkan sesuatu yang menyenangkan, nikmat, meriah. Misalnya 'tenaga mobil itu rruarr biasa', 'pantainya memang top markotop', 'pokoknya soto ini rasaya maknyus', dll.
Saya tertarik dengan tulisan ini, tapi ada sedikit hal yang menurut saya kurang pas. Misalnya di atas disebutkan kalau belakangan ini sering dijumpai penggunaan imbuhan seperti ini. Dan imbuhan tersebut digunakan hanya untuk hal positif saja.
Padahal penggunaan kata-kata itu sering digunakan sejak dulu ketika saya di desa waktu kecil, dan tidak juga melulu untuk menggambarkan hal yang positif.
Misalnya kami sering bilang begini “maeng aku ketemu sepur duowo lorine” (tadi saya bertemu kereta api yang panjang sekali lori/gerbong nya). Kata 'duowo' (panjang sekali) adalah penekanan dari kata 'dowo' (panjang). 'sandalmu kok cuilik temen' (sandalmu kok kecil sekali). Cuilik (kecil sekali) adalah penekanan dari kata 'cilik' (kecil). Dan masih banyak contoh pembicaraan yang lain.
Penggunaan kata dalam kalimat seperti di atas sudah biasa dipakai di lingkungan desa dari saat saya masih kecil. Sekarang saya umur sudah di atas 30, berarti sudah 20an tahun lalu kami sudah biasa menggunakan kata-kata tersebut.
Bukan hanya di desa, penggunaaan kata-kata tersebut sering juga kita temui di kota-kota di Jawa Timur seperti Surabaya, Malang, Jember, dll. Biasanya penggunaaannya dilengkapi dengan logat Jawa Timuran yang khas dan medok. Sehingga penekanannya terasa lebih mantap. Penggunaannya pun tidak melulu untuk hal yang positif, tapi juga untuk menggambarkan hal yang negatif dan kurang enak.
Saya pernah punya pengalaman buruk dengan ungkapan dan logat medok jawa. Saat itu saya melanjutkan sekolah di Bekasi. Saya benar-benar berusaha keras menyesuaikan dengan komunikasi berbahasa dengan teman-teman sekolah yang baru. Kalau dulu biasa saja menggunakan bahasa jawa, atau bahasa indonesia dengan logat jawa. Saat saya sekolah di tempat baru ini, kalau saya berbicara sering menjadi perhatian teman-teman baru dan jadi bahan tertawaan.
Kata mereka, saya kalau berbicara masih medok jawanya. Terus saya juga kalau berbahasa Indonesia masih agak kaku kata-katanya. Tidak seperti anak-anak asli Bekasi yang gaya bahasanya khas, bahkan dengan anak-anak Jakarta pun saat itu gaya bicara anak Bekasi terasa berbeda.
Saking lucunya buat mereka saya sering diledek dan dikasih julukan 'mas jawa'. Tentu saja julukan itu saat mengganggu disaat saya harus menyesuaikan diri. Saya bahkan sering malu. Tapi untunglah saat itu saya ada teman dekat yang mana saya malah mengajak becanda saat ada teman-teman yang menggoda 'kemedokan' saya.