Setelah menghadiri pengajian rutin, bakda maghrib aku dan kedua teman dekatku sepakat berkumpul di sebuah kedai kopi langganan kami.
Seperti biasa, tanpa aku menyebutkan pesanan, Ayuk –nama panggilannya– sudah menuliskan pesananku, cappuccino hangat. Sedangkan Ama masih saja kebingungan mau memesan apa.
Sembari menunggu Ama, aku bilang pada mereka kalau aku akan lebih dulu ke tempat duduk yang biasa kami tempati.
“Oke. Kamu cuma pesen ini aja, kan!? Ada camilan lain?” tanya Ayuk.
“Mmm, enggak kayaknya. Manut kamu sama Ama aja. Kan kalian paling pinter milih-milih camilan,” jawabku sambil berjalan ke tempat duduk yang kumaksud.
Setelah beberapa langkah berjalan, aku sampai di tempat duduk yang biasa kami tempati kalau ke kedai kopi ini. Aku duduk di dekat jendela. Lalu, aku menurunkan tas ransel dan mengeluarkan sebuah notebook berwarna biru tua doff dan sebuah buku dengan sampul berwarna biru langit.
Aku menghidupkan notebook dan membuka buku pada lembar yang sudah aku tandai sebelumnya. Sembari menunggu notebook menyala dan siap digunakan, aku menatap keluar jendela. Gerimis rintik-rintik mulai membasahi jalanan. Banyak orang-orang mulai panik berlarian mencari tempat berteduh. Dan aku terhanyut dalam lamunan.
"Pastikan kamu selalu bahagia, ya?" ucapmu padaku.
Pesanmu pada percakapan terakhir kita waktu itu, rasanya menyesakkan. Padahal kamu tahu, ketika itu aku sedang tidak baik-baik saja dan itu karenamu. Bahkan untuk ke depannya, aku tidak akan bisa memastikan diriku untuk selalu baik-baik saja. Kamu tahu aku selalu memilih jalan yang panjang dan berbahaya. Namun, mengapa kamu berpesan padaku demikian? tanyaku dalam hati saat percakapan itu terjadi.
Waktu itu, aku hanya mengangguk pelan, mengisyaratkan kalau pesanmu akan terpenuhi. Aku hanya bisa meyakinkanmu dengan garis bibir yang melengkung tipis. Meski hatiku tidak karuan. Rasanya aku ingin sekali menangis dan meluapkan semuanya padamu saat itu juga.