Mohon tunggu...
AkakSenja
AkakSenja Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan yang terus belajar, bertumbuh, dan sembuh melalui tulisan.

Ekspresif yang aktif. Menulis untuk diri sendiri. Fotografi dan pejalan jiwa. Penikmat kopi dan penyuka senja.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengapa Dibuat Susah? Jika dengan Melakukan Hal Sederhana Bahagia Menjadi Lebih Mudah?

26 Desember 2020   16:45 Diperbarui: 26 Desember 2020   16:51 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/id/photos/anak-anak-sekolah-tertawa-602967/

Siapa yang beranggapan bahagia itu susah? Pasti ada di luar sana atau bahkan salah satu dari kalian yang membaca tulisan ini beranggapan demikian. Di sini saya tidak akan memperdebatkan perihal anggapan itu. Kalian beranggapan demikian, itu sepenuhnya hak kalian. Tinggal menunggu waktu saja, kalian akan beranggapan berbeda tentang definisi bahagia itu sebenarnya mudah.

Entah semenjak kapan saya menemukan definisi bahagia itu. Namun, sejauh yang saya tahu, dulu itu saya sering kali dituntut untuk memberi -apa pun itu- semaksimal mungkin untuk orang lain. Kemudian, dari yang awalnya hanyalah tuntutan, berubah menjadi sebuah prinsip dalam kehidupan saya. Dari situlah mulanya kebahagiaan itu terasa dan begitu bermakna bagi saya.

Seperti halnya ketika teman-teman saya dari jauh datang. Seringkali bertepatan dengan mereka ada urusan disebuah daerah yang kebetulan juga berdekatan dengan daerah tempat tinggal saya. Entah kenapa, meski mereka enggan untuk singgah, takut merepotkan dan sebagainya, saya selalu meyakinkan mereka bahwa pertemuan saya dan mereka itu tidak merepotkan sama sekali bagi saya. Malah bagi saya itu sangat membahagiakan. Saya berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan jamuan terbaik versi saya.

Biasanya, saya menawarkan kepada teman-teman, mumpung di sini -daerah yang digunakan sebagai titik pertemuan- mereka ingin ke suatu tempat yang ingin dikunjungi atau apa pun yang ingin mereka lakukan, saya berusaha untuk memenuhinya. Kalaupun tidak sesuai seperti yang mereka inginkan, seringkali saya memberikan rekomendasi tertentu agar mereka tidak kecewa.

Di waktu-waktu seperti inilah saya berbagi kebahagiaan. Tidak pernah tidak, saya dan teman-teman pasti nongkrong di suatu tempat yang kita sepakati sebelumnya. Di sana kita akan berbagi cerita, ilmu, pengalaman dan banyak hal yang terkadang bisa dibilang nyeleneh, tapi asik. Terkadang, diselingi dengan humor yang berupa bully-an ringan, semisal tentang perasaan. Namun, memang lebih banyak bucinnya. Yah, namanya juga anak muda. Wkwkwkwk. Itulah cara saya dan mereka saling memberi kebahagiaan satu sama lain.

Saya tidak pernah ragu dan berpikir panjang untuk "melayani" teman-teman saya yang datang. Dari teman terdekat, ataupun orang-orang yang sebatas kenal saja dan siapapun yang membutuhkan bantuan. Dari hal remeh seperti membelikan makanan hingga mengantar mereka ke tempat tujuan mereka selanjutnya. Anggap saja saya adalah tuan rumah dan mereka tamu. Bukankah tuan rumah harus menjamu tamunya sebaik mungkin? Begitulah sederhananya.

Bahkan, ketika kedatangan mereka bertepatan di akhir bulan, diwaktu di mana saya sering kanker (kantong kering, begitulah istilahnya- ada saja rezeki yang datang. Entah ada teman saya yang bayar hutang atau dapat kiriman dari orang tua sebagai uang saku, sampai-sampai kisah paling geli dari itu semua adalah tanpa sengaja menemukan uang yang terselip di saku jaketlah, di dompetlah, di bawah kasurlah, dan sebagainya. Rasanya seperti menemukan harta karun di tengah palung atau kejatuhan durian di siang bolong.

Pasti di antara kalian ada yang bertanya-tanya, mengapa saya sampai sejauh dan seheboh itu menjamu tamu? Padahal kan tidak harus seperti itu juga. Bisa biasa-biasa saja 'kan?

Ya inilah namanya kebahagiaan yang bisa saja menurut segelintir orang berlebihan. Kebahagiaan  memberi meski hanya dari sebagian kecil waktu kesibukan. Kebahagiaan berbagi meski hanya dari secuil pengalaman. Bukankah hal-hal seperti itu yang tidak akan habis dibagi? Bukankah hal-hal seperti itu salah satu cara untuk menyantuni hati nurani, keyakinan dan rasa kemanusiaan untuk terus memberi dan berbagi?

Ada sebagian orang yang belum pernah merasakan rasanya jauh dari keluarga, jauh dari rumah dan dia sedang berada di negeri orang -katakanlah seperti itu- juga dia tidak punya satupun keluarga dekat di daerah itu. Bukankah satu-satunya hal yang dapat kita mintai tolong adalah kenalan? Seorang teman komunitas atau teman seperjuangan dan sebagainya?

Atau bahkan ketika dia sama sekali tak ada seorang pun yang dikenal, namun ada saja orang yang mau membantu tanpa pamrih. Memberikan sesuatu yang dia butuhkan, semisal tempat tinggal sementara, materi atau hal paling sederhana tempat untuk saling bertukar pikiran. Bukankah bahagia sekali rasanya menemukan orang-orang seperti itu di antara kesulitan kita?

Tapi, tidak semua orang mengalami hal itu loh?

Iya. Memang tidak semua orang, hanya segelintir orang yang mengalaminya. Tapi, saya mengalaminya berkali-kali. Maka dari itu, saya melakukan hal yang sama untuk mereka, siapapun itu.

Bukan perihal balasan apa yang akan saya dapat nantinya atau biar dibilang sok baik atau apalah itu penganggapan orang. Namun, bagi saya sendiri memberi dengan segala kemampuan saya untuk diberikan pada siapapun yang membutuhkan merupakan sebuah kebahagiaan yang tidak ada tandingannya.

Dan saya pastikan, apa yang kita beri kepada orang lain itu akan kembali dalam berbagai bentuk. Tuhan selalu punya sejuta cara-Nya dan tak pernah kita sangka sebelumnya. Hanya saja, kita tidak pernah menyadarinya.

Pernah pada suatu waktu, terdengar deru motor datang. Saya menengok dari jendela, sebuah motor dengan keranjang motor yang berlabel tulisan JNE Express.

Saya bergumam, "Perasaan enggak pesen barang deh?"
Tak lama kemudian, saya membukakan pintu. Seorang laki-laki berdiri di halaman depan rumah saya dengan memegang sebuah paket. Dia memberikan paket itu dan tanda terima. Setelah saya mengisi tanda terima, laki-laki itu pamit dan berlalu meninggalkan halaman rumah saya.

Saya membaca definisi di resi paket itu. Satu buah buku tertulis di sana. Saya segera membuka paket itu dan benar saja, sebuah buku berada di balik balutan kertas sampul warna coklat. Buku yang pada waktu itu sangat ingin saya miliki. Di dalamnya terlipat sebuah kertas yang berisi sebuah pesan.

"Terima kasih buat waktunya kemarin. Terima kasih untuk jamuannya yang super duper enggak bakal terlupakan pokoknya. Kutunggu kedatanganmu di sini. Tertanda, Saudara Jauh."

Waktu itu bahagia sekali rasanya menerima sesuatu yang paling kita inginkan atau butuhkan. Tapi, saya diajarkan sebuah ilmu seperti ini, "Memberilah sebanyak-banyaknya, tanpa berpikir menerima kembali meski hanya sedikit." Anggap saja hal yang kita terima itu bonus dari Allah.

Dari beberapa orang, saya yakin punya banyak versi cerita perihal definisi bahagia itu seperti apa. Sebenarnya banyak cerita tentang bahagia yang sangat sederhana bahkan sangat sepele, tetapi sangat berarti bagi saya.

Jadi, pernah pada waktu itu selepas menghadiri acara di Kediri, saya memutuskan untuk langsung pulang. Saya naik bus dari Nganjuk tepat pukul 17.30. Jam-jam segitu bus jurusan Jogja sudah penuh dan waktu itu saya berdiri sejenak dengan menggendong tas carrier sambil menunggu kursi yang kosong.

Beberapa menit kemudian, ada seorang ibu yang mempersilakan tempat duduknya. Awalnya saya menolak, namun ibu itu bilang kalau dia akan segera turun. Akhirnya, saya menerima tawaran beliau. Ibu itu beralih ke bus bagian depan. Setengah jam berlalu, dan ibu itu belum turun. Ada perasaan bersalah, kenapa saya menerima tawaran beliau? Tapi, tak lama kemudian ibu itu turun. Perasaan lega menyeruak, setidaknya ibu itu tidak berdiri lebih lama lagi.

Bahagia sekali rasanya, ketika masih ada orang yang mau peduli dengan memberikan apa yang mampu mereka beri. Mereka menyantuni hati nurani mereka dengan memberi. Tidak hanya dengan materi atau waktu, tapi juga tenaga dan banyak hal lainnya yang bagi beberapa orang itu sepele.

Bagi saya, sekecil apapun kita berbagi dengan orang di sekitar kita tanpa melihat dia siapa, agamanya apa, suku dan rasnya apa, -saya tuliskan lagi- bahwa semua itu akan kembali dalam berbagai bentuk. Seperti sederhananya senyuman saat bertemu dengan tetangga di jalan. Meski hanya sekilas senyuman kita di antara kesusahan mereka. Terkadang, senyuman yang kita beri menjadi pengisi energi semangat bagi mereka. Seperti yang saya sampaikan di awal tadi, meski sederhana dan sepele, tetapi berarti.

Semisal tetangga saya itu suasana hatinya sedang tidak baik. Lalu, saya menyapa dia dengan senyuman diikuti kata sapaan, "Mari, Bu," atau "Permisi, Bu," dan sebagainya. Suasana hati yang awalnya buruk, dengan senyuman dan sapaan yang kita beri bisa jadi mengubah suasana hatinya menjadi lebih baik. Memang sesederhana itu memberi dan berbagi kebahagiaan. Kita bahagia dan mereka juga bahagia.

Terkadang pemberian itu kembali dalam wujud yang sama. Sebuah senyuman. Seperti saat suasana hati kita sedang buruk, kemudian ada saja seseorang yang memberikan senyumannya diikuti kata-kata penyemangat, bukankah itu membahagiakan? Tentu saja. Tetapi, bagi sebagian orang lagi-lagi hal seperti itu dianggap sepele.

Dari setiap hal yang saya lakukan, pasti ada saja yang tidak sependapat. Contohnya ibu dan adik saya. Sering kali, saya kena teguran dari mereka karena terus saja mengutamakan orang lain. Memang, beberapa kali saya mengutamakan orang lain dalam keadaan saya yang kurang baik.

Pernah, waktu itu saya habis jatuh dari sepeda motor. Tapi, waktu itu tempurung lutut saya terdapat luka basah karena jatuh tadi. Waktu itu masa penyembuhan. Agar lukanya cepat kering, saya hampir dua mingguan di rumah. Nah, jauh sebelum saya jatuh dari motor, saya sudah ada janji dengan seorang teman jauh.

Kita janjian bertemu di kota yang kita sepakati. Yah, tetanggaan dengan kota tempat tinggal saya. Dengan jarak tempuh perjalanan sekitar dua jam. Namanya juga janji, diiringi dengan segala omelan, saya nekat berangkat.

Ngapain sih, bela-belain berangkat?

Alasannya sederhana. Bertemu dengan teman jauh itu rasanya membahagiakan. Dengan kita meluangkan waktu sedikit saja, mereka bahagia sekali. Yah, lagi-lagi ini menjadi prinsip hidup saya. Saya tidak terlalu suka mengobrol lewat daring. Jadi, kalau bisa bertemu, kenapa tidak? Nah, di waktu seperti itu, saya lebih banyak bercerita dan bercengkerama atau sesekali menjadi pendengar.

Nah, kesimpulan dari definisi bahagia bagi saya adalah dengan terus memberikan kebahagiaan untuk orang lain, meski kebahagiaan itu sesederhana memberikan senyuman dan kata 'semangat'.

Mari terus memberi dan berbagi kebahagiaan dari segenap hati untuk menyantuni nurani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun