Mohon tunggu...
AkakSenja
AkakSenja Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan yang terus belajar, bertumbuh, dan sembuh melalui tulisan.

Ekspresif yang aktif. Menulis untuk diri sendiri. Fotografi dan pejalan jiwa. Penikmat kopi dan penyuka senja.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Naluri Membunuh Nurani

7 Desember 2020   22:50 Diperbarui: 7 Desember 2020   23:01 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/photos/house-night-lost-places-mystical-3126362/

Menyelami nurani manusia yang sebenarnya ada
Namun, nalurinya yang tak mau menerimanya untuk ada
Dituntut untuk berada, tapi apa daya, manusia seringkali mengada-ada
Menjadikan diri seperti cermin orang lain agar dianggap ada
Lantas, kamu hidup hanya ingin dianggap ada?
Ah! Manusia memang sukanya mengada-ada.

Bak rumah yang kehilangan penghuninya
Atau bangunan yang kehilangan pondasinya
Atau peliharaan yang kehilangan tuannya
Atau manusia yang kehilangan bumi sebagai pijakannya
Atau gunung yang kehilangan hutannya
Atau pepohonan yang kehilangan daunnya yang rimbun
Atau karang yang kehilangan deburan ombaknya
Atau pantai yang kehilangan ribuan buih air lautnya.

Hati juga sama
Bilamana ia kehilangan sesuatu yang paling penting baginya
Yang biasa kita sebut nurani,
Maka hati bukanlah apa-apa.

Mereka adalah satu kesatuan yang saling mengisi
Mengapa? Sebab mereka juga bermain peran
Peran untuk sama-sama saling menguntungkan.

Terkadang, pola pikir yang membuatnya mati
Pola pikir yang tak digunakan secara hati-hati
Dan kurang dikendalikan lebih berani
Nurani yang hilang oleh pola pikir,
Yang mengutamakan naluri tanpa melihat nurani.

Aku harus begitu dan begini,
Hingga mengabaikan jati diri
Hanya agar dibilang memiliki "empati"
Nuraninya lho sudah mati,
Lha ini "empati" yang bentuknya bagaimana lagi?

Andai mereka melihat memoar dalam ingatan,
Bukankah sejarah takkan bisa hirap?
Ia ada untuk membuat kita teringat
Ada hal-hal yang telah lenyap
Hingga suara hati nurani senyap.


Dibungkam oleh sesuatu yang katanya,
Bernama martabat dan rasa hormat
Hanya untuk hidupnya sendiri.

Merasa malang, padahal ia sendiri yang membuat kemalangan
Berdiri atas nama keadilan,
Namun sekarang semuanya tak bersisa,
Bahkan rasa kemanusiaan.

Seakan diburu waktu,
Tuntutan yang memang sebuah kewajiban,
Ia kosongkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun