Mohon tunggu...
AkakSenja
AkakSenja Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan yang terus belajar, bertumbuh, dan sembuh melalui tulisan.

Ekspresif yang aktif. Menulis untuk diri sendiri. Fotografi dan pejalan jiwa. Penikmat kopi dan penyuka senja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Molor Kuliah, Emang Salah?

4 Desember 2020   13:35 Diperbarui: 4 Desember 2020   13:40 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/photos/doors-choices-choose-decision-1690423/

Apa kabar kalian mahasiswa? Bagaimana kuliahnya? Lancar bukan? Saya tidak akan tanya IPK kalian berapa, mau lulus kapanpun itu hak kalian sepenuhnya. Cuma ingat ya? Jangan terlalu seenaknya sendiri. Kalau mau menunda kelulusan itu tidak masalah. Tapi, menunda bukan berarti tidak ada target buat lulus.

Kali ini, saya tidak akan membahas seputar perkuliahan, namun tetap ada hubungannya juga. Entah kenapa, saya sedikit tertarik dengan ilmu psikologi. Terutama perihal mental. Yap benar sekali. Mental. Kenapa mental? Karena saya sering merasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Mental saya terus menerus di usik oleh lingkungan saya, yang tidak mau tahu dan enggan bertanggungjawab atas perbuatan mereka. Uniknya, mereka jadikan perbuatan itu sebagai kebiasaan.

Mungkin di antara kalian juga pernah mengalami hal yang sama seperti saya. Hanya saja, cara menyikapi dan mengolahnya menjadi sebuah motivasi saya yakin tentu berbeda. Oke, langsung kita bahas.

Menurut ilmu psikologi, kesehatan raga sangat dipengaruhi oleh kesehatan mental seseorang. Kalau raganya sehat, kan bisa melakukan aktivitas sehari-hari tanpa gangguan. Sekalipun kelelahan, kalau mentalnya sehat, lelahnya akan berubah jadi motivasi untuk diri sendiri.

Nah, seperti yang saya katakan tadi, sehatnya mental seseorang sangat berpengaruh untuk motivasi dirinya. Kita ambil contoh seorang pelajar. Mental seorang pelajar juga dipengaruhi oleh lingkungan disekitarnya. Seperti sebelum atau sesudah menerima rapor ujian akhir semester, mereka seringkali ditanya, "Dapat rangking berapa?" atau kalau hasil nilai rapornya jelek, akhirnya hanya akan dibanding-bandingkan sama anak tetangga.

Beda lagi kalau sudah memasuki jenjang yang lebih tinggi, pertanyaannya  juga tidak akan jauh dari kapan dan berapa. Semisal gini, "Kapan lulus? Nem ujianmu berapa?" Ya kalau orang pinter sih gampang jawabnya. Lha kalau orang yang otaknya pas-pasan kaya saya mikir-mikir dong mau jawab apa. Ya kan?

Belum berhenti sampai di situ. Pelajar yang mentalnya terpengaruh, motivasi dirinya akan turun. Ia akan malas-malasan belajar. Tidak bergairah untuk sekolah dan sebagainya. Ini sih pengalaman saya dulu dan beberapa teman yang curhat ke saya. Ada juga yang membuat lawakan, "Kalau aku sih enggak papa dibeda-bedain sama anak tetangga, kan anak tetanggaku ganteng," selorohnya.

Oke, balik lagi ke topik. Memasuki jenjang yang lebih tinggi lagi. Seputar kuliah dan menjadi mahasiswa. Pertanyaan yang ditujukan ke para mahasiswa ini juga tidak akan jauh dari kapan dan berapa. Setiap semester ditanya, "Dapet IPK berapa?" begitu terus sampai lulus. Pertanyaan itu selalu ada saja yang menanyakan. Kalau sudah lama kuliah, pertanyaannya ditambah, "Kapan lulus? Udah lama kan kuliahnya? Kok enggak lulus-lulus?". Paling mentok, mereka akan membanggakan anaknya sendiri dan dibanding-bandingkan dengan kita. Hampir semua mahasiswa pernah mengalami dan ketika ditanya seperti itu, pasti bakal jawab seadanya kalau tidak biasanya muter-muter dulu cari alasan.

Mending lagi kalau mahasiswa pinter, IPK cumlaude terus, kesayangan dosen. Lha kalau mahasiswa model aktivis gimana? Organisasinya lancar jaya, namun kuliah ala kadarnya. Terus kalau semester sudah melebihi batas waktunya, pertanyaan-pertanyaan yang bakal terlontar akan membuat panas di telinga. Pertanyaan "Kapan lulus?" itu semacam sudah menjadi tradisi dan mendarah daging.

Entah kenapa, orang-orang peduli sekali dengan nilai yang dicapai orang lain. Waktu yang dicapai orang lain. Padahal kan itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan mereka. Jadi, tolong ya Pak, Bu, Mas, Mbak, Pakdhe, Budhe, dan antek-anteknya. Kalau tanya itu mbok ya dipikir dulu. Karena akan berpengaruh dengan mental kita. Kita siapa? Ya kita para mahasiswa. Tidak ketinggalan kita para pelajar.

Tidak masalah sebenarnya tanya, cuma ya jangan keseringan tanya. Kalau nanti waktunya lulus juga akan lulus kok. Tepat waktu atau tidaknya buat lulus kuliah, tidak jadi soal sebenarnya. Toh, kuliah tidak cuma perihal lulus tepat waktu dan dapat IPK yang bagus (tidak semua orang berpendapat sama dengan saya, jadi sekali lagi ini pendapat saya).

Kalau pintar menjaga kesehatan mental tidak masalah. Tapi, kalau yang tidak bagaimana? Banyak sekali yang merasa tertekan dengan pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya tidak ditanyakan. Toh, sebenarnya nilai IPK sama waktu lulus itu tidak ada hubungannya sama kalian. Paling juga, cuma buat bahan ngegosip waktu arisan atau kalau tidak pas kumpul keluarga saat lebaran. Buat bahan pameran kesana-kemari. Memang, nilai dan waktu itu sekarang terlihat seperti barang dagangan. Tidak ada maknanya sama sekali. Apalagi di masyarakat? Yang notabene sebenarnya banyak yang sudah bergelar sarjana. Bukankah mereka seharusnya tahu dan dapat bersikap? Ah, ternyata tidak demikian.

Mental seorang mahasiswa sangat diuji saat kumpul keluarga. Kumpul sama tetangga kalau ada kumpul arisan dan jenis-jenis perkumpulan yang lainnya. Pertanyaannya tidak bakal jauh dari "Kapan lulus?" dan "Berapa IPK-mu?". Saat itu, mental orang yang ditanya itu bakal naik dan lebih termotivasi atau malah bikin sakit hati, itulah yang menjadi problematika tersendiri.

Ada seorang kakak tingkatku yang pernah curhat padaku. Sebut saja Mas Rendi. Dia seorang mahasiswa disalah satu perguruan tinggi swasta di Solo. Dia di atasku 3 tahun. Dia angkatan 2014. Kalau pas pulang ke rumah, banyak tetangganya yang selalu bertanya pada ibunya. "Lha kapan Rendi lulus? Bukane wes 4 taun kepungkur?" atau "Kok kuliah e molor? Opo akeh mata kuliah sik dibaleni? Kok ora lulus-lulus ki?". Ibunya memahami kakak tingkat saya itu. Tapi, lama kelamaan, ibunya juga mendesak Mas Rendi untuk segera lulus, biar tidak jadi bahan omongan orang.

Mas Rendi seorang aktivis kampus. Dia hanya ikut sebuah organisasi mahasiswa di kampus. Tapi, terkadang dia juga dimintai tolong buat bantu-bantu kalau ada kegiatan di organisasi lain. Sebenarnya, alasan dia molor kuliah itu karena menurut dia, selepas lulus kalau tidak punya pekerjaan itu juga akan menyusahkan. Mental bakal lebih diuji lagi dan lagi. Makanya dia cari kerja dulu baru lulus.

Saya yakin, semua orang punya alasan terbaik mengapa dia tidak mau memenuhi ekspektasi orang lain. Selain punya prinsip sendiri, biasanya orang yang seperti ini sangat kuat dengan pendiriannya.

Nah, sebenarnya kan cuma saling mengerti saja satu sama lain. Ini baru mengerti, belum lagi perihal memahami, iya kan? Semua orang punya caranya masing-masing bagaimana hidup mereka selanjutnya, selepas lulus dari pendidikan formal. Meski caranya terkadang memang kaya kalau orang mikir "Kok gitu sih?" namun bagi beberapa orang, cara hidup mereka itu ya dengan cara mereka berdiri di atas kaki mereka sendiri dan tidak didikte cara kerja mereka ke depannya oleh orang lain. Bukankah seburuk atau sebaik-baiknya kehidupan orang itu tetap berharga untuk mereka sendiri? Bukankah hidup mereka itu milik dan sepenuhnya hak mereka?

Perlu dan sangat perlu diingat. Manusia itu berbeda-beda. Apalagi dari segi pemikiran, tidak akan bisa sama sekalipun mereka itu saudara kandung atau bahkan yang saudara kembar. Tidak bisa. Terlebih lagi perihal nilai yang diukur dari sebuah organ yang bernama otak. Kepintaran setiap orang itu berbeda. Bahkan, jika nilai IQ-nya sama, tetap saja nilai dalam realitanya berbeda.

Meskipun molor kuliah itu tidak bisa dibenarkan atau dibanggakan, tapi kalau buat dihujat dan diomongin, itu juga tidak bisa saya tolerir. Sebab, kalau sudah masuk ke ranah hujat menghujat dan jadi omongan, kan sudah menjadi urusan umum. Padahal, hal-hal seperti itu masuk ranah urusan pribadi. Bagaimana membawa diri, menjalani aktivitas kuliah, membentuk pemikiran, mendewasakan diri dan banyak hal yang sebenarnya tidak ada di kuliah sehari-hari. Mereka bebas memilih.

Dunia perkuliahan itu luas, kaya hatimu yang kamu persembahkan untuk seseorang yang tak menyukaimu. Luas. Sangat luas. Hehehe. Kalau tempat dan medianya saja sudah luas, lalu pemikiran manusia tetap sempit, tidak bakal bisa berkembang apalagi maju.

Pasti ada yang berpikir, kuliah itu harus lulus tepat waktu dan dapat IPK bagus. Tidak ada yang salah dengan pemikiran seperti itu. Tapi ingat, tidak semua orang sepemikiran dengan hal itu juga. Tidak semua orang bisa lulus tepat waktu dan bisa dapat IPK yang bagus sebab berbagai alasan. Saling menghargai keputusan itu menjadi dukungan yang tepat agar semuanya berjalan seimbang dan sesuai dengan semestinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun