Mohon tunggu...
AKai_kun
AKai_kun Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ana Krisdiasari

Hai disini AKai, code name dari Ana Krisdiasari..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aroma - Karya: Ana Krisdiasari

30 Maret 2021   10:00 Diperbarui: 30 Maret 2021   10:03 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hawa hujan memang pas saat disandingkan bersama lamunan. Yugen terdiam, matanya menerawang ke luar jendela besar di koridor itu, melirik sekilas tangga batu melingkar di ujung jalan setapak taman yang sepertinya dipapak asal oleh seseorang. Sesaat sebelum melanjutkan langkahnya, pria itu menyayangkan tatanan sirkulasi udara yang buruk di mansion sebesar ini. Entah mengapa ada sebesit kekecewaan merayap di hatinya, padahal ia sedikit berharap bisa menghirup campuran aroma tanah, rumput, dan daun basah. Aroma khas hujan yang sangat ia rindukan.

'Tak, tuk, tak, tuk,'

Sudah berapa lama? Ya... kira-kira sudah berapa lama indra penciumannya fokus pada sedikit aroma saja? Tidak, tidak. Ia tak yakin. Ragu-ragu ia mengingat, mencari-cari di otaknya yang dipenuhi oleh permintaan-permintaan absurd dari klien-klien asing.

'Tak, tuk, tak, tuk,'

Aroma terakhir yang ia ingat, yang agak menyengat, yang mampu menyadarkannya bahwa kehadirannya adalah nyata, aroma yang membuatnya.... hidup!

'Tak, tuk, tak, tuk, tak,'

Sejak tadi langkah yang Yugen ayunkan sebenarnya santai, namun gema yang dihasilkan membawa kesan mencekam, seolah-olah suara ketukan sepatu itu bukan miliknya, seolah-olah ada makhluk besar yang tak terlihat ikut berjalan di belakangnya sambil mengulurkan kedua cakar besarnya melewati dinding di belakangnya. Dan---

'Tak---'

Bersamaan dengan berhentinya ketukan sepatu, wajah pria itu tiba-tiba mengeras, sunyi sekejap menggelitik pelan di punggungnya. Ah, Yugen ingat, aroma itu berasal dari roti yang baru keluar dari panggangan di sebuah toko seberang jalan! Bahkan matanya sempat terpana kala itu! Meski sudah tiga tahun terlewat, aroma itu seakan satu-satunya yang sanggup menariknya dari kegelapan yang selama ini Yugen jalani. Menghela napas, pria itu memutuskan mengatur deru jantungnya yang menggila, tangannya sedikit bergetar meraih gagang pintu, namun dengan pasti ia membukanya, memasang senyum palsu yang sudah ia latih di depan cermin selama bertahun-tahun.

'Cklek'

Dan di detik berikutnya, bisikan-bisikan terdengar mengiringi langkahnya menuju ke arah peti mati, dengan dua orang berpakaian serba putih yang mengenakan penutup wajah senada yang membawa keranjang bunga, dan seorang wanita botak bergaun merah yang duduk di kursi roda. Ya, sekali lagi Yugen berjalan menjemput dosanya yang lain!

"Jadi orang itu yang dimaksud pencabut nyawa?"

"Katanya selain mengirim orang ke surga, dia juga membuat seni dari mayat kliennya untuk ditunjukkan kepada Dewa!"

"Apanya yang pencabut nyawa? Bukankah sama saja perbuatannya itu dengan pembunuhan?"

"Mana ada pembunuhan yang korbannya mati sukarela?"

"Ah, lalu kenapa kita yang jadi saksinya?"

'Ting, ting, ting'

Setelah dentingan sendok pada gelas di tangan Yugen berbunyi, semua tamu yang hadir mendadak terdiam, lalu dengan cekatan memakai topeng merah di tangan mereka.

"Mari kita mulai ritualnya!" suasana langsung terasa berat di ruangan megah itu, ruangan yang dulunya mungkin digunakan untuk acara-acara penuh canda tawa, sekarang akan menjadi altar berdarah yang dipimpin oleh keturunan dari neraka, Yugen Hiwaga ke 13. Pria itu memakai topeng yang terbuat dari tengkorak rusa putih berusia puluhan tahun, topeng warisan, ciri khas keluarga Hiwaga.

"Nyonya, jika Anda sudah yakin, raihlah tangan saya!" Yugen mengulurkan tangan yang diterima baik oleh wanita botak bergaun merah. Tanpa kata, pria itu mengangkat kliennya masuk ke dalam peti, sarung tangan merah ia sematkan melewati jemari kurus itu, sampai pada kaus kaki hitam yang awalnya melekat di kaki wanita itu Yugen pula yang melepaskannya. Masih dengan diam, ia menyuntikkan anestesi yang membuat wanita botak bergaun merah di dalam peti terlelap perlahan. Itu bagian awal ritualnya.

"Wahai engkau yang sedang menderita, yang meminta beristirahat dengan saya sebagai perantara, aku lepaskan nyawamu dari dunia, bersama para saksi yang menerima kepergian Anda, semoga akhir hidup di tangan saya memberi izin Anda diterima surga!"

Aku memang bukan pendeta, tapi harus menghafal doa.

"Aameen!"

Pisau bedah menari-nari di kulit wanita botak itu. Mengiris horizontal, vertikal, lalu horizontal lagi, kemudian vertikal lagi, begitu berulang-ulang. Seluruh bagian tubuh wanita itu dialiri darah.

Aku juga bukan dokter, tapi harus belajar membedah tubuh orang.

Dua orang berpakaian putih maju setelah diberi tanda, yang satu berdiri di sisi kepala peti dan yang lainnya berdiri di sisi kaki peti, keduanya membungkuk bersama sambil mengangkat keranjang bunga. Yugen mengambil satu persatu bunga mawar putih yang diserahkan, lalu menancapkannya ke sela-sela luka yang ia buat, gerakan menanam bunga di tubuh manusia. Satu bunga di setiap mata, tiga bunga di bibir, lima bunga di leher, dua bunga di bahu, tiga bunga di setiap lengan, tiga bunga di setiap punggung kaki, dan yang terakhir sebuket bunga di genggaman tangan. Setelah memastikan semua lukanya terjahit kembali, ia dan dua orang berpakaian serba putih mundur beberapa langkah.

"Para saksi dipersilakan membuka topeng!" Yugen memberi arahan. Topengnya sendiri sudah ia letakkan. Ia menatap wajah para saksi yang kaku ketika dua orang berbaju putih mendirikan petinya, menampakkan kondisi tuan rumah yang terbujur kaku dengan bunga-bunga yang menghiasi tubuhnya. Seni dari kematian.

Aku bukan pendeta, bukan juga dokter, apalagi tukang kebun dan penjahit, hanya karena leluhurku pernah menerima permintaan dari seorang penguasa yang ingin bunuh diri, hanya karena para Hiwaga membantu orang-orang untuk mati, aku pun harus lahir dengan darah kutukan ini. Cukup, aku tak mau lagi. Biarkan dengan kepergianmu, kutukan ini juga berhenti padaku. Tak akan ada Hiwaga lain yang harus menanggung beban. Wahai kutukan, berhentilah padaku!

Yugen tengah duduk di bangku gazebo belakang rumahnya, hari itu hujan juga mengguyur kotanya. Jemarinya menyentuh foto album dari para kliennya yang sudah di bawah tanah, bukti akan dosa-dosanya. Album yang mengakhiri garis Hiwaga. Seperti ikrarnya kala itu! Dengan tenang kepalanya bersandar pada tiang di belakangnya, menatap pelayan-pelayannya sendu. Angin meniupkan daun berwarna coklat ke pangkuannya. Hujan membasahi tanah, menggenang diantara cekungan rumput, dan menyuarakan tabrakannya bersama atap dan pepohonan. Aromanya semerbak menenangkan. Aroma khas hujan yang ia rindukan. Tapi apakah ini akhirnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun