Mohon tunggu...
Henny Luan
Henny Luan Mohon Tunggu... -

Perawat dan Pemerhati Sosial.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ungkapan 'Petugas/Instruksi Partai' dalam Konstelasi Evolusi Kepemimpinan Nasional

12 April 2015   15:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:13 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ungkapan 'Petugas/Instruksi Partai' dalam Konstelasi Evolusi Kepemimpinan Nasional (suatu catatan kecil dari Perawat)

Membaca berita tentang PDIP akhir-akhir ini telah menggugah saya untuk berpikir sedikit lebih keras dari biasanya. Saya katakan berpikir keras karena ini bukan bidang saya. Saya bukan seseorang yang berpolitik praktis , bukan anggota salah satu partai. Sekalipun demikian, sebagai seorang perawat kesehatan masyarakat, saya terbiasa menyimak dan memaknai kejadian sosial, termasuk pergulatan politk di tanah air. Sederhana saja, kesehatan masyarakat itu sangat dipengaruhi oleh produk dan hasil akhir dari suatu aktifitas politik.

Kali ini, kernyitan kening saya semakin dalam setelah membaca dan menonton berita seputar munas/kongres PDIP. Ada kata (ungkapan) yang menurut saya telah menimbulkan keresahan bagi sebagian pihak. Kata-kata itu antara lain ‘petugas partai' dan 'instruksi partai'  Kata-kata itu, yang selama ini sangatlah biasa didengar,  belakangan ini justru telah memerahkan telinga sebagian orang. Reaksi relawan Jokowi merupakan salah satu indikasi. Juga, kometar-komentar yang saya baca yang diposting oleh para pembaca  ketika menanggapi suatu artikel (op-ed) di berita online, merupakan indikasi kuat ada penolakan keras terhadap penggunaan kata-kata atau ungkapan tersebut.

Menurut hemat saya, fenomena ini menarik diamati. Barangkali, keberadaan saya di luar negeri memampukan saya untuk dapat berdiri bebas di luar kotak sehingga semakin mudah mengamati dan mencerna. Ketika selesai membaca artikel yang dimuat di Harian Kompas dua hari lalu (“…Kalau tidak mau jadi disebut petugas partai …”), ada satu hal yang terbersit seketika, “evolusi”, saya membatin. Fenomena ini adalah fenomena suatu evolusi kepemimpinan nasional. Evolusi kepemimpinan nasional ini telah dimulai dari tubuh parpol yang ditandai dengan kesediaan PDIP memunculkan pemimpin nasional (presiden) dari seseorang yang kapasitasnya bukan pemimpin partai. Tentu saja, pernyataan ini tidak berarti saya tidak setuju seorang calon presiden/presiden yang berasal dari pimpinan/pemimpin partai. Saya kira, tahun lalu, semua masyarakat Indonesia (yang pro dan tidak pro, yang sekubu dan tidak sekubu, yang memilih dan tidak memilih) melihat pencalonan Jokowi sebagai suatu hal baru dalam pemilihan presiden, suatu fenomeno baru dalam pesta demokrasi. Yang menjadi perhatian selanjutnya, pada hemat saya adalah evolusi kepemimpinan nasional ini ternyata mandeg pada konteks pencalonan presiden saja, berhenti sampai disitu. Evolusi ini sangat parsial belum disikapi secara komprehensif.

Penggunaan kata (ungkapan) ‘petugas partai' dan 'instruksi partai' dapat memberikan suatu indikasi adanya ketimpangan dan parsial. Pada satu sisi, ketika PDIP memperkenalkan calon pemimpin nasional dari kelompok muda dan non pemimpin (kader), PDIP memberikan sinyal siap untuk suatu perubahan dalam konstelasi kepemimpinan nasional. Pada sisi lain, melalui penggunaan kata-kata tersebut, PDIP justru sebaliknya, memberi indikasi proses regresi. Atau dengan kata lain, dapat juga dikatakan bahwa PDIP sesungguhnya belum siap memprediksi kejadian ikutan pasca pencalonan. Ketidaksiapan itu tampak sekali dengan terus mengulang-ngulang ungkapan-ungkapan tersebut, dan terkesan sangat eksesif. Justru karena penggunaan yang eksesif itu semakin memicu reaksi keras dari masyarakat. Sebelum tahun 2014, masyarakat memaklumi penggunaan ungkapan-ungkapan tersebut karena menurut hemat saya, pada umumnya, kedudukan tertinggi para anggota partai  ada pada level gubernur/menteri dalam tatanan eksekutif.  Saat ini, reaksi masyarakat berubah. Perubahan itu bukan karena Jokowi sebagai presiden semata tetapi  lebih kepada suatu rentetan kejadian dari evolusi yang sedang terjadi. Perubahan itu terjadi karena presiden datang dari kelompok non pemimpin puncak dari suatu parpol. Reaksi masyarakat itu sudah selayaknya diamati dan disikapi dengan seksama dan bijaksana.

Setiap perubahan (evolusi) selalu ada proses adaptasi, termasuk didalamnya adalah adaptasi budaya dan pola kepemimpinan yang menuntut sensitifitas dalam berkomunikasi. Penggunaan kosa kata (bahasa) dapat mengindikasi apakah sedang terjadi proses adaptasi tersebut atau sebaliknya. Sebagai contoh, kata 'instruksi partai' tidak lagi cocok dikenakan kepada presiden, karena dalam kedudukannya, presiden itu 'commander in chief' yang tidak menerima instruksi/perintah dari siapapun, kecuali mandat dari rakyat (Penggunaan kata instruksi dalam Bahasa Indonesia cenderung sangat ‘topdown’ dan seakan tidak disertai dengan autoritas). Lalu, apakah parpol-parpol salah/keliru (terutama PDIP karena dalam kasus ini presiden berasal dari PDIP)? Jawabannya tentu saja tidak. Lebih tepatnya mereka, secara sistemik, tidak siap menyikapi evolusi tersebut. Kalau begitu, kata apa yang tepat? Saya berpikir pengugunaan kata 'petugas partai' atau 'instruksi partai' musti ditinjau ulang karena terdengar sangat otoriter.  Ketika Megawati mengulang-ngulang kalimat ini banyak orang lalu mencemoohnya, karena hal itu secara tegas memengindikasi suatu tipe autokratif dengan sikap kontrol yang sangat dominan. Saya tidak yakin autokratif merupakan pilihan yang tepat dalam konteks evolusi kepemimpinan nasional yang sedang terjadi. Oleh karena evolusi juga berarti ada perubahan mendasar dalam perpolitikan terutama dalam proses penentuan calon pemimpinan nasional dan kejadian/proses ikutannya, maka hal itu sangat mempengaruhi berbagai faktor dalam tubuh parpol, utamanya pola kepemimpinan dalam tubuh parpol.

Dengan kata lain, jaman sudah berubah, tipe autokratif bukanlah pilihan terbaik, dan bahkan tidak lagi cocok diterapkan. Yang menarik, sekalipun evolusi ini menuntut suatu perubahan mental dalam pola kepemimpinan di tubuh parpol, evolusi tetaplah tidak segarang revolusi. Evolusi selalu memberikan keleluasaan dan peluang yang lebih besar untuk terus berupaya dalam proses adaptasi. Oleh karena itu, adalah suatu poses yang sangat alamiah bagi para parpol untuk beranjak dan mentransformasi pola kepemimpinannya. Keberhasilan bertransformasi tersebut merupakan suatu langkah lanjutan yang dapat memberikan kepastian untuk menyatukan frakmen-frakmen evolusi kepemimpinan nasional yang masih tercecer.

(Masih tetap berkernyit…. Masih terus berpikir)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun