Memasuki era praktik kemandirian secara profesional lalu menjadi
semacam isu emosional bagi keperawatan, terutama setelah lebih dari
enam tahun ternyata RUU Praktik Keperawatan masihlah tetap rancangan.
Tanpa regulasi dan kehadiran Konsil Keperawatan yang menjamin
kompetensi pendidikan dan lulusannya serta mengatur registrasi lisensi
dan sertifikasi, keperawatan belum utuh disebut sebagai profesi. Suatu
kondisi yang bertentangan dengan UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
yang menekankan pentingnya kewenangan menjalankan peran dan
perlindungan hukum. Tanpa UU Praktik Keperawatan, kemandirian dan
akuntabilitas keperawatan seperti dipasung.
Manfaat UU Praktik Keperawatan sesungguhnya akan juga dinikmati oleh
khalayak ramai dan negara. Masyarakat mendapatkan jaminan memperoleh
kualitas asuhan dan terlindung dari tindakan malapraktik. Mutual
Recognition Agreement di tingkat regional Asia Tenggara akan
dimantapkan dan pengakuan kesetaraan perawat Indonesia di kancah
global akan berkontribusi besar terhadap peningkatan devisa negara.
Berorientasi populasi
Pada Hari Perawat Sedunia tahun ini, keperawatan mengusung kembali PHC
sebagai tema utama, menekankan aspek integrasi pelayanan dan
partisipasi masyarakat. Melalui ini, keperawatan menandaskan bahwa
faktor determinan kesehatan tidak dapat diberangus hanya dengan
perawatan pada orang sakit di tempat tidur. Keperawatan berada dalam
satu arus paradigma sehat Visi Indonesia Sehat tahun 2010, yang
menempatkan aspek promosi dan preventif pada garda terdepan kebijakan
dan program pembangunan bidang kesehatan.
Hal ini mencerminkan ciri profesionalitas keperawatan yang
mengedepankan altruism dan nurturant, suatu komitmen pada nilai-nilai
sosial untuk kesejahteraan populasi. Komitmen ini pulalah yang
menempatkan perawat sebagai profesi penolong, suatu totalitas melampau
penghargaan finansial yang diterima.
Perawat, sebagai kekuatan pembaruan, mempunyai kans besar untuk
memastikan kesehatan masyarakat dapat tercapai. Mengenai ini, bahkan
pernah ditegaskan oleh Hafdan Mahler, Direktur Jenderal WHO, tahun
1985. Proporsi tenaga keperawatan Indonesia sebesar 54 persen
menggambarkan kekuatan yang mampu memberikan daya ungkit mengurangi
angka kematian ibu dan anak, meretas masalah kurang gizi, mencegah
penyebaran penyakit menular, meningkatkan kesehatan lingkungan, dan
menjaga individu tetap hidup sehat secara optimal.
Secara kuantitas, kontribusi itu tercermin melalui kinerja 70 persen
perawat di puskesmas dalam pelayanan kehamilan dan persalinan.
Keterlibatan proaktif keperawatan dalam program Desa (RW) Siaga juga
mengindikasi upaya perawat membangun kapasitas masyarakat
berpartisipasi aktif menemukan akar masalah kesehatan di komunitas dan
melakukan upaya untuk mengatasinya.