Mohon tunggu...
Rahmad Agus Koto
Rahmad Agus Koto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Generalist

Aku? Aku gak mau bilang aku bukan siapa siapa. Terlalu klise. Tidak besar memang, melalui niat dan usaha, aku selalu meyakini bahwa aku selalunya memberikan pengaruh yang baik bagi lingkungan sosial maupun lingkungan alam dimanapun aku berada.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Fatamorgana Selulosa Bakteri sebagai Bahan Fashion dan Kertas untuk Menggantikan Selulosa Tumbuhan

5 Juli 2023   05:22 Diperbarui: 6 Juli 2023   19:01 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sudah mengenal dan mempelajari selulosa bakteri sejak tahun 1998, waktu masih kuliah di Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara. Pada tahun 2012 saya memulai bisnis produksi dan pengolahan nata de coco, profesi yang masih saya tekuni hingga sekarang.

Yep, nata de coco adalah selulosa yang dihasilkan oleh bakteri selulosa melalui proses fermentasi air kelapa. Pada dasarnya, bakteri selulosa bisa menghasilkan selulosa dari berbagai jenis larutan yang mengandung gula, seperti larutan jus buah nenas (nata de pina), buah apel (nata de apel), dll. Media fermentasinya bisa juga dibuat dari air sisa pencucian beras dan dari air sisa pengolahan tahu.

Dari fermentasi 1,2 liter media air kelapa yang mengandung sekitar 30-50 gram gula, bisa diperoleh sebanyak 1 kg nata de coco basah. Komposisinya 99% cairan, dan 1% serat nata. Di kalangan para petani/produsen, harganya sekitar Rp.2.000. Dengan kata lain, harga 10 gram serat selulosa bakteri tanpa cairan (kering), harganya Rp.2.000. Berarti, nilai bahan baku mentah bakteri selulosa untuk sebuah kaos oblong seberat 100 gram, Rp.20.000. 

Proses pencucian, penguraian, pengeringan serat hingga pengolahannya menjadi benang dan membentuknya menjadi kaos oblong, biayanya bisa mencapai 10.000/10 gram atau Rp. 100.000/kaos oblong. Total biaya produksi, Rp. 120 ribu. Ditambah sekitar Rp. 60 ribu untuk biaya pengemasan, marketing, perizinan, dll, hingga harga untuk end user bisa mencapai 180 ribu/kaos oblong. 

Itu, bila kaosnya polos. Harganya bisa naik puluhan ribu lagi bila kaosnya lebih berat, ada proses pewarnaan, biaya desain, penyablonan dst. Padahal bila dibandingkan dengan kaos oblong dari selulosa tumbuhan, harganya hanya sekitar 50-100 ribu rupiah dengan kualitas yang tidak begitu berbeda.

Sumber bahan media fermentasi juga menjadi permasalahan tersendiri. Untuk satu kodi pakaian memerlukan 2400 liter air kelapa. Industri pakaian bisa memproduksi belasan hingga ratusan kodi/hari.

Sementara itu, untuk mengumpulkan air kelapa tidaklah mudah. Di pulau Jawa aja, air kelapa udah "habis" untuk keperluan industri makanan dan minuman.

Oke, di pulau-pulau sentra kelapa, air kelapa memang banyak yang terbuang sia-sia, tetapi menimbulkan masalah transportasi dan distribusi.

Mengapa hanya air kelapa yang saya bahas sebagai media fermentasinya? Karena hanya air kelapalah sumber bahan baku yang paling melimpah dan yang langsung bisa digunakan.

Apakah bakterinya bisa direkayasa secara genetik supaya menghasilkan selulosa yang lebih banyak? Mungkin bisa, tapi toh tetap dibatasi oleh banyaknya kandungan gula dalam media, karena "batu bata" selulosa adalah gula dan gula itu bahan baku yang relatif mahal.

Nah, begitulah inti permasalahan yang saya maksudkan. Secara prinsip, masalahnya sama untuk produk-produk lain. Dalam hal ini, keinginan untuk menggantikan selulosa tumbuhan dengan selulosa bakteri, sifatnya fatamorgana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun