Mohon tunggu...
Rahmad Agus Koto
Rahmad Agus Koto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Generalist

Aku? Aku gak mau bilang aku bukan siapa siapa. Terlalu klise. Tidak besar memang, melalui niat dan usaha, aku selalu meyakini bahwa aku selalunya memberikan pengaruh yang baik bagi lingkungan sosial maupun lingkungan alam dimanapun aku berada.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Blunder Fatal Puisi Butet Kertarajasa, Menyerang Dua Bacapres Sekaligus

26 Juni 2023   09:44 Diperbarui: 26 Juni 2023   10:08 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam acara Bulan Bung Karno di Stadion Gelora Bung Karno yang berlangsung pada Sabtu kemarin (24 Juni 2023), Bambang Ekoloyo Butet Kartaredjasa membacakan sebuah puisi. Puisi yang menuai kontroversi. Pada intinya "memijak" dua bacapres dan mengagungkan bacapres lainnya. 

Dia memang tidak ada menyebut nama, tapi maaf, kita kan bukan orang bodoh yang tidak melek berita politik kan ya, kita juga bukan mahluk yang tinggal di planet semesta MCU. Kedua bacapres itu, siapa lagi kalau bukan Anies Baswedan dan Prabowo Subianto, dan yang satu lagi tentunya Ganjar Pranowo.

Baiklah saya uraikan makna yang kutangkap dari bait-bait puisinya itu.

[Di sini semangat meneruskan, di sana maunya perubahan. Oh begitulah sebuah persaingan]

Koalisi Perubahan untuk Persatuan yang dibentuk oleh Nasdem, PKS dan Demokrat, memilih Anies sebagai bacapresnya dan memilih diksi "perubahan" untuk proses pencitraannya. Di bait ini, Butet menyampaikan hal yang fair. Perbedaan perspektif politik yang sangat natural.

[Di sini nyebutnya banjir, di sana nyebutnya air yang markir. Ya, begitulah kalau otaknya pandir. Pepes ikan dengan sambel terong, semakin nikmat tambah daging empal. Orangnya diteropong KPK karena nyolong, eh lha, kok koar-koar mau dijegal]

Nah, dari sini mulai muncul kenorakan puisi Butet. Gaya bahasanya persis ala buzzer politik semacam Denny Siregar dan Permadi Arya alias Abu janda, buzzer pemecah belah bangsa alih-alih jadi pemersatu atau penjaga sikon kondusif. Dengan ciri gemar memakai bahasa yang sifatnya makian, bully, dan gemar menuduh tanpa dasar tuduhan yang kuat.

[Jagoan Pak Jokowi rambutnya putih, gigih bekerja sampai jungkir balik]

Pada prinsipnya bait ini gak ada masalah, wajar saja sebagai bentuk dukungan terhadap jagoan.

[Hati seluruh rakyat Indonesia pasti akan sedih jika kelak ada presiden hobinya kok menculik]

Sangat jelas sekali bahwa yang dimaksudkannya adalah Prabowo. Isu "menculik" ini mungkin udah muncul semenjak Prabowo memilih aktif di dunia politik. Sebagai pemerhati politik yang sangat intens, khususnya pada masa Pilpres 2014 dan 2019, isu ini sungguh teramat sangat sering saya baca di berbagai jenis media yang membahas politik. Klarifikasi atau kejelasan mengenai "penculikan" ini juga sudah banyak tersebar di internet.

Bait ini juga aneh, kontradiktif. Katanya ingin meneruskan apa yang telah dikerjakan oleh Jokowi dalam masa kepresidenannya, tetapi Jokowi kok malah memilih dan mempercayakan Prabowo yang dituduhnya sebagai penculik pada posisi yang sangat penting dan kritis dalam kabinetnya, sebagai Menhan. Dalam satu kesempatan, Jokowi malah mengatakan bahwa kepresidenan berikutnya mungkin jatahnya Prabowo.

Butet sangat mengapresiasi Jokowi dan memilih Ganjar sebagai jagoannya untuk Pilpres 2024, tetapi Jokowi sangat akrab dengan Prabowo yang ditudingnya sebagai penculik.

[Cucu komodo mengkeret jadi kadal, tak lezat digulai biarpun pakai santan. Kalau pemimpin modalnya cuman transaksional, dijamin bukan tauladan kelas negarawan]

Bait penutup puisinya ini absurb, dan bisa mengarah ke siapa saja. Dalam dunia politik tidak ada yang tidak transaksional. Dengan bermodal transaksional saja, seorang tokoh bisa saja menjadi seorang negarawan, bertransaksi dengan rakyat misalnya.

Secara umum saya menyimpulkan bahwa Butet telah melakukan kesalahan atau blunder yang bersifat fatal. Sejauh ini yang menonjol di medsos adalah hujatan netizen terhadap puisinya itu. Puisi yang berpotensi bisa berimbas negatif kepada jagoannya, Ganjar, dan berdampak positif bagi Anies dan Prabowo.

Dari Pilkada 2012, Pilpres 2014 dan 2019, netizen kita sudah belajar banyak mengenai karakter poilitik nasional. Model-model "buzzing" norak semacam yang dilakukan oleh Butet ini sudah kadaluarsa, sudah gak zamannya lagi. Algoritma medsos juga sudah sangat berbeda, yang cenderung membatasi postingan-postingan politik.

Sebenarnya saya udah gak gitu tertarik membuat tulisan-tulisan politik, tidak seperti dulu yang sempat-sempatnya membuat puluhan tulisan politik. Hanyasaja saya tergerak membuat tulisan ini karena rada-rada jadi meradang ketika membaca isi puisi Butet tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun