Adapun "kelemahan" bidang ini adalah terkait waktu. Proses pengaplikasian output R&D dan lamanya waktu yang diperlukan untuk mengetahui dampaknya, bisa mencapai tahunan. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri khususnya bagi negara-negara berkembang, termasuk negara kita, Indonesia.
Selama ini hingga tahun 2018, pemerintah mengalokasikan dana untuk R&D bisa dikatakan sedikit, hanya sekitar 0.2 % dari Groos Domestic Product (GDP). Indonesia berada di posisi terendah se-Asia Tenggara (LIPI/Tirto).
Global Investments in R&D (UNESCO Institute for Statistics, June 2018):
Israel (4.3%) and the Republic of Korea (4.2%) being the world leaders, followed by Switzerland (3.4%), Sweden (3.3%) and Japan (3.1%).
- 1.7% for World
- 0.5% for Arab States
- 1.0% for Central and Eastern Europe
- 0.2% for Central Asia
- 2.1% for East Asia and the Pacific
- 0.7% for Latin America and the Caribbean
- 2.5% for North America and Western Europe
- 0.6% for South and West Asia
- 0.4% for Sub-Saharan Africa
Nah, berdasarkan uraian diatas, wajar saja Zaky menganggap omong kosong Industri 4.0 jika anggaran R&D sekecil itu. Secara fakta, kritiknya memang benar. Dengan demikian ia berharap semoga pemerintahan berikutnya alias "Presiden Baru" menaikkan jumlah anggarannya. Sebenarnya ia tidak perlu meminta maaf.
Harapannya itu sebenarnyalah juga harapan para peneliti se-Indonesia, harapan kita semua demi kemajuan dan perkembangan negara yang sama-sama kita cintai ini, Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H