Saya dilahirkan di tepi Danau Toba, tepatnya di kota Balige ibukota Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Saat saya berusia lima tahun kami pindah ke Laguboti, kira-kira tujuh kilometer dari Balige. Saya tinggal disana hingga tamat SMA, dan melanjutkan studi ke Kota Medan.
Suku kedua orangtua saya Minangkabau, Ayah suku atau marga Koto dan Ibu Sikumbang. Meskipun keluarga kami sudah 35 tahun lebih hidup di perantauan, hubungan kekeluargaan dengan kampung halaman orangtua di daerah Bukit Tinggi Sumatera Barat tetap terjaga dengan baik.
Seperti kebanyakan orang Minangkabau, orangtua saya merantau ke Tanah Batak Toba dan membuka usaha rumah makan hingga sekarang.
Kami memiliki hubungan yang sangat dekat dengan beberapa keluarga Suku Batak Kristen disana, yaitu keluarga Oppung Hutahaean dan Tulang Pangaribuan. Saking dekatnya hubungan ini, Oppung Hutahaean menganggap Ibu saya sebagai putrinya sendiri dan memberikan gelar yaitu Boru Hutahaean kepadanya dalam suatu acara adat. Sedangkan Tulang Pangaribuan mengangkat Ayah sebagai adiknya dan diberi marga Pangaribuan.
Suku Batak Toba merupakan suku yang sangat menarik.
Selama tinggal di daerah Batak, saya merasakan dan mengenal benar adanya karakter yang sangat menonjol dari orang Batak yaitu suka berdebat dan memiliki sifat yang blak-blakan. Mereka cenderung tidak menyukai menyimpan perasaan, kalau ada yang tidak berkenan di hatinya langsung disampaikan kepada yang bersangkutan.
Mungkin kedua karakter inilah yang membuat banyak pengacara terkenal di negara kita berasal dari Suku Batak.
Satu hal yang mengesankan selama saya tumbuh dan berkembang di lingkungan orang Batak yang mayoritas beragama Kristen Protestan, kira-kira 95% lebih, adalah tingginya rasa toleransi mereka terhadap suku dan agama lain. Ramah, saling menghormati dan tolong menolong satu sama lain.
Setiap hari-hari besar agama, ada tradisi yang sangat menarik, misalnya saat Hari Natal dan Tahun Baru.
Tetangga kami yang merayakannya selalu memberikan hadiah, biasanya makanan dan minuman halal yang sengaja mereka pilih untuk berbagi rasa kegembiraan. Demikian juga sebaliknya, kami memberikan hadiah kepada mereka saat hari besar Idul Fitri.
Selain toleransi beragamanya yang luar biasa, sifat kegotongroyongannya menambah tingginya kesan saya terhadap orang Batak.
Hal ini saya alami langsung saat pesta pernikahan adik saya. Acara tersebut sangat ramai, dihadiri keluarga besar Oppung Hutahean dan Tulang Pangaribuan yang datang secara keadatan.
Sungguh suatu pengalaman yang sangat mengesankan hidup bersama Orang Batak. Bisa diakatakan, mereka memiliki peran yang cukup besar dalam sikap saya menghadapi dan menerima perbedaan.
[-Rahmad Agus Koto-]
[caption id="attachment_170511" align="aligncenter" width="330" caption="Pakaian Adat Minang dengan Ulos Batak"][/caption] [caption id="attachment_170514" align="aligncenter" width="330" caption="Ibu-ibu menyiapkan makanan (Marhobas) untuk pesta"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H