Jika saya memiliki sebuah appel dan memberikannya kepada seorang sahabat, maka appel itu pun lepas dari kendali saya karena kendali itu telah berpindah tangan kepada sahabat saya. Terserah mau diapain appel itu oleh sahabat saya, mau dimakan, disimpan atau diberikannya kepada orang lain. Sebagai imbalan yang memang saya harapkan, sahabat saya itu pun memberikan kepada saya sebuah jeruk manis. Satu contoh transaksi yang sederhana, namun sempurna dan tidak membutuhkan pihak ketiga sebagai saksi proses transaksi kami itu. Prinsip transaksi itu berlaku untuk benda apa saja, termasuk jasa, yang diberikan kepada orang lain, dan kemudian memperoleh sesuatu dari pemberian itu yang sebelumnya memang diharapkan. Transaksi itu kita sebut dengan perdagangan dengan cara barter. Perdagangan satu apel dan satu jeruk, tentunya bisa dikatakan tidak membutuhkan alat tukar perdagangan. Namun akan sangat ribet jika kita mau memperdagangkan secara barter segerombolan sapi atau segudang beras bukan? Maka muncullah ide untuk membuat alat tukar perdagangan itu, yang secara umum kita beri nama uang. Pada awalnya bentuk uang yang dipilih adalah benda-benda yang dianggap masyarakat umum sangat berharga dan sangat jarang ditemukan. Logam-logam muliapun jadi pilihan. Tetapi benda-benda ini tidak efektif untuk transaksi yang bernilai sangat besar, maka muncullah kertas surat jaminan benda-benda berharga itu yang berasal dari produsen logam-logam mulia. Kertas itupun menjadi alat tukar perdagangan. Lambat laun menjadi uang kertas (dan logam) yang kita kenal saat ini. Era Sistem Informasi Teknologi (SITI) pun tiba. Sistem yang menjadi cirikhas atau yang membentuk wajah peradaban masa kini. Sistem yang seakan-akan telah menghapus ruang, jarak dan waktu. Sistem yang telah memunculkan istilah globalisasi, termasuk dalam sistem keuangan. Sebagian netizen mania (geek), khususnya yang aktif di bidang perdagangan online (e-commerce) menganggap pihak ketiga yaitu lembaga yang mengendalikan atau mempengaruhi sistem keuangan tradisional (bank dan atau negara), terlalu mengintervensi dalam suatu transaksi atau perdagangan digital individual. Sedikit banyaknya merugikan pihak yang bertransaksi dari segi nilai transaksi, dari segi keamanan dan dari segi privasi. Maka muncullah ide untuk membuat uang digital yang bebas dari intervensi. Ide yang berdasarkan pada contoh transaksi yang saya sampaikan di awal tulisan ini. Lalu, apa yang akan dijadikan sebagai mata uang digital yang dimaksud? Khususnya untuk menghindari terjadinya 'Double Spending' (sejenis penggandaan atau pemalsuan uang)? Satoshi Nakamoto, seorang geek pseudonym menawarkan konsepnya yang brilian, Bitcoin. Konsep yang berawal dari 'ide mentah' B-Money yang diajukan oleh Wei Dai. [caption id="attachment_291073" align="aligncenter" width="580" caption="We Accept Bitcoin @Reuter"][/caption] [Bersambung] Berikutnya mengenai penjelasan sederhana mengenai mekanisme dan kontroversi bitcoin, diantaranya mengenai kekhawatiran institusi resmi dimana bitcoin merupakan sarana transaksi perdagangan ilegal di dalam Deep Web...
[-Rahmad Agus Koto-]
Referensi
Today Techies, Tomorrow the World? [PDF]
Reuters, 'Overstock plans to accept bitcoin next year - report'
Kompas: Bitcoin Mata Uang Masa Depan?
Artikel Terkait
Deep Web, Web yang Ditakuti Penegak Hukum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H