Aku merasa seperti anjing gila yang harus dihindari, sungguh sangat menyakitkan. Padahal aku tidak ada menyerang satu agamapun, masih mending kalau yang dihindari atau dibenci orang yang menganut antichrist yang menyerang agama Kristen, atau Ahmadiyah yang bertentangan dengan Islam.
Hanya dosen itulah yang sangat perhatian dengan keadaanku, dia sungguh baik sekali. Diapun menyarankan kepadaku untuk keluar dari Jakarta, dan pindah ke Yogyakarta. Dia memberikan uang secukupnya untuk biaya kost dan kuliah di sana.
Selama tinggal di Yogyakarta, akupun benar-benar hidup mandiri. Pernah suatu waktu aku mengalami krisis keuangan, sempat hampir tergoda menjajakan tubuhku, namun harga diriku ternyata lebih kuat. Meskipun aku seorang ateis, aku menjalani hidupku dengan mengikuti norma-norma yang berlaku di masyarakat, taat kepada peratutan pemerintah.
Sekarang, hidupku sudah berjalan dengan baik. Aku memiliki usaha gerai batik yang kukelola sendiri. Aku memiliki seorang kekasih yang tidak menghiraukan apa yang kuyakini, bagi dia yang penting adalah saling memperhatikan, saling menyayangi, saling mencintai. Dia sendiripun punya keyakinan tersendiri, dia mempercayai Tuhan suatu agama, tanpa menjalani aturan-aturan agama itu. Bagi dia, meyakini Tuhan itu ada, sudah cukup baginya. Dia juga memiliki bisnis legal yang cukup sukses.
Kami berdua sepakat untuk hidup bersama, tanpa pernikahan resmi. Cukup hanya mengikuti urusan birokrasi, dan berbohong mengenai pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan agama, maka negarapun mengakui kami sebagai suami istri yang sah.
Hubungan sosial kamipun normal, karena kami memang sepakat untuk merahasiakan keyakinan masing-masing.
Sebelas tahun sudah berlalu semenjak aku memutuskan memilih ateis, sekarang hidupku bahagia dan sejahtera bersama kekasihku.
Aku ateis dan aku bahagia dengan pilihan hidupku.
-------------------------------------------------------------
Belajar memahami pemikiran yang berseberangan!
Salam Hangat Sahabat Kompasianers ^_^