Oleh: Ajun Pujang Anom
Entah mengapa siang ini, nampaknya berbeda dari siang-siang sebelumnya. Mungkin bisa dikatakan spesial. Bagaimana tidak spesial? Saya yang biasanya tak begitu "menghiraukan" bentuk-bentuk puisi lainnya. Karena begitu silau terhadap puisi visual (grafis). Sehingga seakan-akan tak ada ruang kosong di dalam hati buat puisi yang bisa "dibaca" dengan bibir manusia.
Apalah arti ruang di dalam hati itu, jika seperti tipe rumah 21/60? Super kecil. Jangankan dibuat tiduran, buat selonjoran saja susah. Kondisi ini mirip dengan keberadaan "genre" lainnya dalam kehidupan berpuisi saya. Hampir nihil, kalau sulit dikatakan tidak ada.
Siang ini mencoba membuat puisi dengan gaya Xerox. Puisi yang seringkali dituduh sebagai asal main comot. Karena cuma mem-fotokopi dari realita, tentunya kesan "anak-anak" begitu melekat. Le style naive, bisa dibilang.
Mengapa pilih Xerox, tidak yang lain? Bukankah Xerox terlalu prosais dan hambar diksinya? Sebab saya suka satire. Saya merasa ada talian erat di antara keduanya, dibandingkan dengan yang lain.
Dan inilah hasil percobaan saya dengan memakai jasa Xerox, dengan judul "Payung dan Aku":
Tiba-tiba warna siang berubah
Berubah menjadi seperti arang kayu
Dan tiba-tiba air ditumpahkan begitu saja dari langit
Beruntung aku berada di bawah payung
Payung yang sejak dari tadi menemaniku
Melindungi dari teriknya matahari
Kini ia melindungiku dari basah kuyup kedinginan
Payung, tanpamu akan ada banyak derita mencekamku
Bojonegoro, 24 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H