Tugu menandai segala sesuatu dalam peristiwa; juga peringatan bagi kawan dan lawan. Tiga tugu ini: Tugu Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Tugu Reformasi dekat Kampus Trisakti  dan  Tugu Kudadu di  Jawa Timur setidaknya mempunyai tema yang sama: Pengkhianatan.
Pendirian Monumen atau Tugu dengan keterangan tertulisnya yang disebut Prasasti seringkali diperlukan untuk menandai datangnya era baru atau kekuasaan baru. Â Monumen, tugu, prasasti termasuk patung dan karya-karya seni lainnya hadir atau dihadirkan untuk menyambut penguasa baru.Â
Monumen atau tugu itu bisa berarti ajakan untuk persatuan tapi sekaligus bisa juga seruan untuk  selalu awas terhadap para pengkhianat. Monumen atau tugu seperti ini bisa kita lihat pada Monumen atau tugu  di Lubang Buaya yang selain untuk memuliakan para Pahlawan Revolusi  tapi juga waspada terhadap bahaya laten komunisme yang pernah dikobarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Walau kekuasaan Orde Baru sudah runtuh seperempat abad yang lalu, Tugu di Lubang Buaya ini masih tetap berdiri.  Penguasa yang menyebut dirinya reformasi tetap secara resmi menziarahi Tugu ini walau tampak tak lagi bersemangat seperti Orde Baru. Ini menandakan bahwa secara tradisi daya kesaktian Tugu Lubang Buaya yang disertai tumbal  untuk menghambat kebangkitan roh "pengkhianatan" itu sudah memudar.
Tugu Reformasi pun berdiri dengan nilai-nilai  dan semangat baru. Tugu yang ditumbali dengan darah anak-anak muda ini pun dimantrai dengan kebencian terhadap Orde Baru. Lagu anti Orde Baru pun menggema di angkasa: "Indonesia Baru tanpa Orba..." bahkan  kini ditujukan pada Presiden Jokowi yang dianggap membangkitkan roh Orde Baru. Dengan demikian berkhianat dan menjauh dari Tugu Reformasi.
Sekitar 730 tahun yang lalu, di Dusun Kudadu, Dyah Wijaya yang hendak membangunkan kekuasaan baru di bawah panji matahari Majapahit pun mendirikan Tugu pengusir roh para pengkhianat.  Tugu di Dusun Kudadu selain memuliakan para pahlawan yang telah menyelamatkan Dyah Wijaya penerus Dinasti Rajasa juga seruan untuk menindas  kebangkitan roh pengkhianatan yang dikobarkan oleh Jayakatwang.Â
Di Kudadu, diterakan kejinya pengkhianatan  Jayakatwang. Perbuatan Jayakatwang yang membantai Kertanagara dan para pejabat penting Singhasari yang sedang bekerja keras untuk menghadang invasi asing Kubilai Khan ke  Nusantara disebutkan sebagai krtalpaswakarmma mitradrohaka yaitu pengkhianatan yang sangat keji terhadap sahabat.  Karena itu sudah selayaknya Jayakatwangisme diawasi dan dibungkam.
Tetapi dalam perjalanan sejarah, Dusun Kudadu itu pun menghilang atau berubah nama.  Kidung Panji Wijayakrama tak lagi menyebut dan mengidungkan Kudadu tetapi Pandak. Apakah perubahan nama ini menandai era ujaran kebencian terhadap "para pengkhianat" yang pada dasarnya juga sesama anak negeri sudah berakhir demi kepentingan lebih besar:  menuju puncak kemegahan dan keemasan  Majapahit?
Â
Presiden Jokowi yang getol berbicara tentang peluang  Indonesia Emas di tahun 2045 pun  mulai membangunkan Tugu baru.  Tugu baru itu bisa bernama  "Tugu Nusantara" karena dibangun atau diletakkan di Ibukota baru bernama Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur itu. Ini bisa berarti juga menghindari pengaruh negatif dari Tugu di Lubang Buaya dan Tugu Reformasi di dekat Kampus Trisakti karena ketaksanggupan untuk mengubah bentuk dan isinya.Â
Selama Tugu Pancasila Sakti itu masih berdiri tanpa ada perubahan bentuk dan isi, ujaran kebencian pada para pengkhianat itu tetap bergema; begitu juga sebaliknya , Tugu Reformasi yang seakan menyerukan: "Awas bahaya laten Orde Baru." Sementara yang diperlukan hari ini adalah ujaran-ujaran keharmonisan, kesatuan dan bagaimana caranya bisa bersatu untuk membangun negeri tanpa ada kontradiksi-kontradiksi yang tidak perlu. Â