Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Siapa yang Membajak Demokrasi?

24 Januari 2024   16:44 Diperbarui: 8 Februari 2024   13:46 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tajuk Rencana Kompas, 15 Januari  2024, yang bertepatan dengan Peringatan Setengah  Abad Malari, Malapetaka 15 Januari 1974, menyoal Pembajakan Demokrasi. 

Kompas khawatir dengan tidak adanya transparansi dana politik. Tajuk Kompas pun menulis, "Uang adalah hal yang penting dalam politik. Aliran uang akan menunjukkan siapa yang menggerakkan dan arah dari aktivitas politik itu. Terkait hal ini, sinyalemen PPATK bahwa sejumlah nama yang masuk dalam daftar calon tetap Pemilihan Legislatif 2024 ada yang terkait dengan bisnis perjudian (Rp 3,1 triliun), penambangan ilegal (Rp 1,2 triliun), kasus lingkungan hidup (Rp 264 miliar), penggelapan (Rp 238 miliar), dan kasus narkotika (Rp 136 miliar) adalah sangat mengerikan." 

Kompas pun mengajak berimajinasi: "Dapat dibayangkan, jika para caleg itu terpilih menjadi wakil rakyat, kepentingan siapa yang kelak akan diperjuangkan oleh para caleg itu. Jika ini terjadi, pemilu juga akan menjadi kesempatan bagi para penjahat ekonomi yang ada di belakang para kandidat untuk makin menancapkan pengaruhnya." Lantas Kompas berpesan: "Agar hal itu tak terjadi, saatnya untuk melihat lebih teliti para kandidat yang kini tengah berkontestasi, cermati rekam jejak dan berbagai informasi yang beredar agar tidak salah pilih. Untuk jangka panjang, transparansi dana politik mesti terus diperjuangkan. Dengan cara ini, kita ikut serta dalam upaya menjaga pemilu dari para pembajak demokrasi."

Apa yang disampaikan Kompas ini menimbulkan tanya juga: siapa yang sebenarnya membajak demokrasi? Bahkan nilai Rp 51 Triliun yang ditemukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada  rekening 100 caleg yang punya jabatan sebagai pengurus korporasi belumlah bisa dikatakan sebagai dalang pembajakan demokrasi. Nilai itu masih kecil untuk menguasai politik (peyelenggaraan) negara.

Dari Peristiwa Malari 50 tahun yang lalu, kita bisa belajar bahwa nilai politik untuk melakukan perubahan kecil di Republik ini pun berbiaya besar.  Peristiwa Malari mempersoalkan investasi asing yang dikorupsi atau hanya menguntungkan kelompok tertentu (baca juga: Oligarki). Sementara itu diketahui bahwa Pemilu 2024, (juga Pemilu-Pemilu era reformasi) sudah tidak bisa dipisahkan dengan permainan uang (money politics). Banyak pendapat ,  Negara juga  telah dikuasai Oligarki yang jumlahnya kira-kira 1 % dari total jumlah penduduk  sehingga demokrasi yang berjalan atau dijalankan dalam tiap Pemilu hanyalah demokrasi formal atau prosedural saja yang tidak mengubah struktur sosial atau mampu memberikan program-program yang mengurangi ketimpangan sosial ekonomi.

Sudah menjadi pengetahuan umum juga bahwa pembahasan Undang --Undang di DPR juga tidak lepas dari transaksi uang dan bisa dipesan. Sudah menjadi pengetahuan umum juga bahwa Partai Politik saat ini berfungsi sebagai kendaraan politik saja. Siapa yang punya uang bisa beli tiket dan mengendarainya. Membuat Partai Baru hingga lolos menjadi peserta Pemilu juga cukup sediakan uang saja;  tidak perlu berdiskusi serius soal ideologi, politik dan organisasi. Membuat Partai dengan kebanyakan diskusi malah tidak menimbulkan apresiasi tapi malah bisa dicurigai sebagai Partai Komunis gaya baru.  Sudah menjadi pengetahuan umum juga bila untuk lolos ke senayan seorang caleg perlu dana bisa jadi di atas 10 Milyar.

Jadi jelas:  uanglah yang berkuasa dalam demokrasi kita saat ini dan hanya para oligarklah yang mempunyai uang untuk membajak demokrasi; untuk menguasai penyelenggaraan politik Negara. Rakyat biasa yang katakanlah berjumlah 99 persen, baik yang ikut nyaleg atau tidak, tentu tidak mempunyai kemampuan membajak demokrasi. Oleh para oligark, mereka menjadi alat legitimasi dalam setiap  Pesta Demokrasi lima tahunan.

Walau begitu, demokrasi, selalu memberikan ruang untuk tumbuhnya kesadaran terhadap situasi. Hanya rakyat yang sadar politik bisa menemukan celah untuk melakukan perubahan. Tentu jalannya tidak mudah. Begitulah sejarah memberi tahu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun