Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bukan Demokrasi Presidensial tapi Demokrasi Liberal!

28 Desember 2023   09:35 Diperbarui: 7 Februari 2024   23:36 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yonky Karman melalui artikel opininya di Kompas, Kamis 7 Desember 2023, berjudul Demokrasi Presidensial menulis bahwa "...Demokrasi Terpimpin (Soekarno) ataupun Demokrasi Pancasila (Soeharto) adalah praktik berdemokrasi dalam kendali eksekutif. Era Reformasi (1998-sekarang) mengembalikan demokrasi dari kendali eksekutif ke rakyat..." Apa yang disampaikan Yonky Karman ini, menurut penulis, ada kesalahpahaman yang mendasar terhadap Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin bukanlah praktik berdemokrasi dalam kendali eksekutif. Secara filsafat, Demokrasi Terpimpin dilawankan dengan Demokrasi Liberal. Demokrasi Liberal inilah yang coba dipraktikkan dalam Era Reformasi (1998-sekarang) yang menurut Yonky: "...mengembalikan demokrasi dari kendali eksekutif ke rakyat...". 

Benarkah demikian? Dalam kenyataannya, demokrasi era reformasi hanyalah demokrasi prosedural yaitu secara prosedur demokrasi benar dilaksanakan tetapi susah untuk mengangkat derajat orang miskin. Yang terjadi justru praktik beli atau jual suara meningkat; tak hanya itu bahkan jual beli partai politik sebagai kendaraan untuk menjadi senator, legislator, kepala daerah, bahkan kepala pemerintahan seperti Presiden. Money politics merebak dikendalikan oleh orang-orang superkaya, yang miskin makin miskin dan yang kaya makin kaya. Inilah demokrasi liberal yang dikhawatirkan Bung Karno sejak memberikan dasar negara Pancasila pada pidatonya 1 Juni 1945. 

Di sana jelas, Bung Karno mengungkapkan bahwa dalam demokrasi (liberal) rakyat seakan mempunyai kebebasan memilih dan dipilih tapi dalam kenyataan politiknya tidak; karena ada ketergantungan ekonomi. Ada demokrasi politik tetapi tidak ada demokrasi ekonomi. Karena itu Bung Karno tidak mau demokrasi yang seperti itu, yang dalam praktik yang lain yaitu hanya menang-menangan saja seperti melalui voting, 50 + 1. Bung Karno menginginkan demokrasi yang dipratikkan secara musyawarah mufakat alias gotong royong bukan sekadar mayoritas mengalahkan minoritas. Begitulah landasan mendasar dari Demokrasi Terpimpin yang membedakan dari Demokrasi Model Barat atau Amerika yang filosofinya memang berangkat dari hak-hak individu yang terlindungi sebagai Hak Asasi Manusia. 

Demokrasi Terpimpin menurut Bung Karno sebagaimana Pancasila adalah praktik mendasar dari demokrasi asli Indonesia. Bagaimana detailnya bahkan kadang Bung Karno mengelak untuk menjelaskan dan meminta para sarjana untuk merumuskan detailnya. "Banyak orang yang menanya kepada saya,"Cobalah, Bung, precieseren, apa yang Saudara maksudkan dengan Demokrasi Terpimpin?" Sampai jlimet minta ditegaskan dan diterangkan, lho, saya bukan pembuat Demokrasi Terpimpin, saya sekadar mencetuskan ide yang lama terpendam di dalam masyarakat, di dalam kalbu, di dalam dada, di dalam roh, di dalam jiwa bangsa Indonesia. Saya cetuskan, saya persembahkan. Masyarakat, terutama sekali kaum cendekiawan, kaum politisi, kaum mahasiswa, harus menyelesaikan pekerjaan ini," kata Bung Karno dalam Pidato Peringatan Sumpah Pemuda di Jakarta, 28 Oktober 1958.  

Secara prinsip, Demokrasi Terpimpin mengandung perencanaan dalam proses pembangunan bangsa atau negara, yang haluannya dirumuskan bersama secara musyarawarah mufakat melalui lembaga tertinggi negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat. Presiden di sini sebagai eksekutif hanyalah mandataris atau kalau mau dikatakan boneka MPR. Ini membedakan dengan praktik Demokrasi Barat yang 50+1 itu, yang berbasis hak individual, atau demokrasi liberal. 

Dalam Demokrasi Liberal, perencanaan pembangunan bangsa tidak ditekankan sebagai praktik musyarawah mufakat. Yang menang itulah yang memimpin, ada persaingan yang difasilitasi secara demokratis dan hak individu ditekankan lebih tinggi dari hak kolektif. Dengan demikian dalam praktik ekonomi, individu boleh memiliki atau menumpuk kekayaan sebagai hak milik yang terlindungi oleh negara tanpa batas. Akibatnya individu yang super kaya bisa mengendalikan arah produksi negara hingga menjadi kapitalis dunia yang kemudian berwatak imperialis mengendalikan negara-negara lainnya. Singkatnya dalam demokrasi liberal berlaku persaingan bebas sementara dalam Demokrasi Terpimpin berlaku ekonomi yang terencana sehingga kemakmuran bisa dimiliki semua warga negara bukan hanya individu yang unggul. 

Tan Malaka pernah menulis Soviet (Dewan Rakyat) atau Parlemen. Tulisan Tan Malaka ini mau menunjukkan bahwa di dunia ini berlaku dua praktik berdemokrasi yang secara prinsip masing-masing mempunyai landasan yang berbeda. Demokrasi Parlementer (liberal) mendasarkan pada Deklarasi Kemerdekaan Amerika sementara Demokrasi ala Soviet yang muncul kemudian mendasarkan pada Manifesto Komunis. Bung Karno tentu membaca dengan baik dan paham substansi Deklarasi Kemerdekaan Amerika dan Manifesto Komunis, juga brosur yang ditulis Tan Malaka: Soviet atau Parlemen tersebut. Bung Karno tidak puas dengan pembelahan praktik demokrasi seperti itu. Bagaimana pun baik soviet atau parlemen adalah demokrasi asing, bukan demokrasi yang berakar di Indonesia. Bung Karno pun melihat tidak ada negara di dunia ini yang maju tanpa landasan kebudayaan yang jelas. Di sini pentingnya pesan Bung Karno: berkepribadian dalam lapangan kebudayaan. 

Karena itu praktik berdemokrasi Indonesia juga harus berlandaskan atau berakar pada kebudayaan Indonesia. Dari situasi inilah Bung Karno menemukan gotong royong sebagai kebudayaan asli Indonesia yang telah menjadi landasan praktik berdemokrasi di Indonesia sejak dahulu kala. Itulah yang dimaksud Bung Karno dengan Demokrasi Terpimpin. 

Dengan begitu, melihat situasi demokrasi era reformasi ini, seharusnya bukan Selamat datang demokrasi presidensial! (apakah ini yang dimaksud demokrasi terpimpin, presiden bisa diartikan pemimpin atau demokrasi yang terpimpin oleh cawe-cawe presiden? ); tetapi Selamat datang demokrasi liberal!

Baca juga: Cawe-Cawe Prima

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun