Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pentingnya Melek Literasi Politik

1 Juli 2023   09:41 Diperbarui: 15 Maret 2024   21:47 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demokrasi adalah sarana memajukan kesejahteraan rakyat. Kalau kita menengok sejarah bangsa, kolonialisme adalah masa kesengsaraan rakyat. Dialektika rakyat di masa kolonialisme adalah berpusat menuju pada cita-cita kemerdekaan, terbebas dari belenggu kolonial yang membatasi akses seluruh rakyat pada kesejahteraan. Karena itu tidak salah bila slogan-slogan sosialistik memenuhi udara perlawanan terhadap kolonialisme seperti  "Sama Rasa Sama Rata".

Pada masa itu, perlakuan diskriminatif terhadap warga terjadi dan terlihat nyata. Pendidikan rakyat biasa hanya sampai  kelas Ongko Loro dengan target bisa membaca dan menulis, yang diperlukan untuk kebutuhan tenaga kerja Industri, sementara kelas ningrat bisa memasuki pendidikan lebih  tinggi namun tidak lebih tinggi dari Sang Penjajah. Kita ingat Pemerintah kolonial memberlakukan strata sosial berdasarkan ras atau bangsa-bangsa: warga kelas utama adalah Eropa, warga kelas kedua adalah Bangsa-Bangsa Timur seperti Arab dan China dan warga kelas tiga adalah yang berjumlah paling banyak yang disebut pribumi, yaitu suku-suku yang telah lama menempati Nusantara, di antara suku-suku itu Jawalah yang terbanyak.

Praktek kolonial dalam mengatur warga negara berdasarkan strata sosial ini sudah berlangsung lama sejak imperialisme kuno atau masa-masa imperium. Mongol yang membangun Dinasti Yuan dan menguasai Tiongkok misalnya juga menerapkan strata sosial berdasarkan ras: Warga kelas I adalah Mongol, Warga Kelas II adalah Orang-Orang Asing dan warga kelas III adalah pribumi seperti Bangsa Han yang mayoritas. Belenggu Mongol atas Bangsa Han ini berhasil didobrak pada tahun 1368 Masehi sehingga bangsa pribumi Han membangun dinasti yang berkuasa yaitu Ming dan mengusir penjajahnya kembali ke padang rumput.

Sementara itu strata sosial kolonial Belanda pun berhasil didobrak dan dihancurkan melalui perjuangan rakyat yang menuntut kemerdekaan pada tahun 1945, dan membangunkan Negara baru bernama Republik Indonesia. Melalui konsitusinya yaitu UUD 1945 yang menjadi dasar dan landasan hidup berbangsa yang baru tampak jelas bahwa semangatnya adalah memberi akses dan ruang yang lebih luas pada rakyat untuk mencapai dan memperoleh kesejahteraan tanpa diskriminasi. Sarana untuk mencapai akses dan kesejahteraan itu disandarkan pada demokrasi sehingga rakyat yang masih memperjuangkan kesejahteraaan dengan kekuatan bersenjata atau kekerasan pun disingkirkan.

Pemilu 1955 digelar dengan semangat memberikan dan mendorong rakyat untuk terlibat bukan untuk membuat satu golongan rakyat agar tidak terlibat atau tersingkir dari arena demokrasi. Pemilu 1955, sebagai pemilu pertama pasca penjajahan, di tengah suasana kemerdekaan, yaitu keberhasilan dalam memperjuangkan kemerdekaan sehingga akses dan ruang terhadap kesejahteraan rakyat makin terbuka dibanding pada masa kolonial yang menerapkan diskriminasi sosial berdasarkan ras, dipandang sebagai pemilu yang jujur dan tidak diniati untuk diakali atau dicurangi.

Pada pemilu-pemilu Orde Baru, kecurangan tampak nyata tapi rakyat belum berdaya menghadapi rejim yang membatasi partisipasi politik rakyat dengan kekerasan yang tingkat kekerasannya telah mendapatkan reputasi yang jelas yaitu setidak-tidaknya sudah membunuhi lawan politiknya berkisaran  antara 500.000 sampai  1 juta orang. Pada pemilu Orde Baru, agitasi politik dibatasi, jumlah partai dibatasi dan disuruh bersaing dalam pemilu dengan entitas politik yang tidak mau disebut Partai tetapi menjadi alat politik kekuasaan. Kecurangan yang inheren dan sistemik dalam pemilu-pemilu Orde Baru itu berhasil diakhiri dengan  tumbangnya rejim pada Mei 1998.  

Memasuki era reformasi, ada harapan bahwa pemilu yang jujur dan adil bisa kembali diselenggarakan sebagaimana pemilu pertama 1955. Partisipasi luas rakyat untuk terlibat kembali dalam pemilu meluas dan antusias. Juga diselenggarakan pemilu  secara langsung untuk memilih Presiden dan kepala daerah bahkan hingga memilih Ketua RT.

Tapi, di balik meluasnya partisipasi politik rakyat itu, niat untuk mengakali dan bermain curang dalam pemilu juga berlangsung dan semakin jelimet dan sistematik dengan kemampuan intelejen yang tidak biasa. Akibatnya secara umum diketahui  bahwa pemilu yang diselenggarakan pasti curang tapi juga tidak ada niat politik atau kemampuan politik rakyat untuk menghentikan dan men-set ulang sistem pemilu. Kecurangan dianggap hal  biasa  dalam  pemilu seakan itu  bagian dari kelihaian berpolitik saja sebagaimana  dulu sempat ribut soal kriteria calon presiden yang mengharuskan lulusan sarjana strata 1. Tetapi bersepakat bahwa presiden harus sehat  jasmani dan rohani yang seakan kriteria itu hanya untuk mencurangi atau menyingkirkan Gus Dur saja.

Sampai batas mana kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu itu bisa ditoleransi rakyat? Jawabannya ya tergantung pada sejauh mana akses kesejahteraan bisa diperoleh  rakyat sebab demokrasi hanyalah sarana untuk mewujudkan dan mencapai kesejahteraan.  

Kini literasi politik menjadi penting sebab politik bukan lagi soal memilih dan dipilih tetapi apa yang bisa diperoleh dalam setiap hajatan politik.  Apa yang bisa diperoleh dalam setiap hajatan politik yang berlangsung itu tergantung dari seberapa besar melek literasi politiknya. Tak ada yang salah dalam era demokrasi seperti ini setiap suara rakyat misalnya dihargai Rp 100. 000,  atau Rp 10.000. Anggap saja orang-orang seperti ini adalah golongan pasukan bayaran yang juga dibutuhkan dalam setiap usaha memenangkan perang.  

Partisipasi politik rakyat dan money politik yang menggerakkannya tentu bedanya tipis. Bila ada unsur korupsi, biarlah lembaga yang berwenang mengatasinya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun