Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Cawe-Cawe Prima

19 Juni 2023   22:04 Diperbarui: 13 Februari 2024   00:34 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kondisi bangsa banyak dilaporkan dan dibicarakan berbagai pihak sedang dalam kondisi yang tidak prima. Utang luar negeri yang terus membengkak hingga 8000 Trilyun, kesenjangan sosial, korupsi dan kebhinekaan tetap menjadi isu yang mengemuka dan memprihatinkan yang menuntut banyak pihak untuk "cawe-cawe". Presiden Jokowi melihat semua itu tidak bisa diam dan akan "cawe-cawe", tak akan berhenti mengurus bangsa dan negara walau jabatan berakhir di tahun 2024.

"Cawe-cawe" yang berarti kurang lebih: turut campur dan terlibat pada suatu masalah bisa diartikan ganda. Misalnya "cawe-cawe" Presiden Jokowi terkait Pilpres 2024 bisa dimaknai dalam koridor konstitusional tapi juga tidak konstitusional tetapi demi kepentingan diri sendiri seperti  kelanjutan politik "Trah Jokowi" walau semua itu bisa dibungkus dalam jalur-jalur hukum positif. Dalam masa reformasi, aktivis gerakan yang berlawan dengan Orde Baru juga memaknai "cawe-cawe" gawe pemilu atau intervensi pemilu dalam makna berganda. 

Satunya ingin ikut terlibat dalam pemilu secara konsitusional, sesuai undang-undang yang ada dengan misalnya mendirikan partai pemilu seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan satunya lagi, tetap melanjutkan gerakan pemberontakan untuk secara total mengganti  rejim Orde Baru yang ditahun 1998 bersifat reformis. Yang terlibat pemilu dikatakan parlementaris sementara yang melancarkan pemberontakan dengan gagah dan yakin menyebut diri: Insureksionis.

Di masa kolonial, kaum parlementaris ini bermakna co-operation dengan penjajah sehingga menerima tawaran penjajah dengan masuk parlemen atau Dewan Rakyat waktu itu: Volkskraad;  sementara yang revolusioner, insureksionis menempuh jalur non-co: menolak keberadaan Dewan Rakyat  yang dianggap hanya tukang omong, transaksional, tidak revolusioner dan memoderasi gerakan melawan penjajahan. Oleh kaum insureksionis, "cawe-cawe" Pemilu tidak boleh dimaknai sebagai politik parlementaris saja, tetapi juga sebagai medan pemberontakan rakyat untuk mengganti rejim.

Situasi "cawe-cawe" pemilu melalui parlementaris atau  insureksionis ini tak pernah berhenti sepanjang era reformasi dalam diskusi gerakan-gerakan yang memandang bahwa pemilu hanya gawe-an elit. Kita bisa melihat selalu ada partai baru yang mencoba masuk ke gelanggang pemilu di samping juga seruan-seruan walau sayup terdengar untuk melakukan gerakan golput atau boikot pemilu. Sementara itu, untuk menjadi peserta pemilu, semakin rumit administrasi yang harus dibereskan sehingga bagi partai baru sangat berat untuk bisa lolos sebagai peserta pemilu sehingga lembaga KPU hampir selalu dituduh curang sebagaimana juga disinyalir Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD yang mengatakan, pada 2024, pasti ada pihak-pihak yang menuding Komisi Pemilihan Umum (KPU) bermain curang dalam penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). (https://nasional.kompas.com/read/2023/01/10/15025021/mahfud-tahun-2024-pasti-ada-yang-menuding-kpu-curang.)

Soal indikasi KPU berlaku curang, tidak adil, dalam menyeleksi partai-partai mana yang harus diloloskan dalam Pemilu 2024 sebenarnya sudah menjadi kegelisahan banyak pihak. Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra, misalnya, dalam Rakornas PBB di Kepala Gading, Jakarta, Rabu (11/1/2023), menyatakan  semestinya tidak ada satupun partai politik yang lolos menjadi peserta pemilihan umum (pemilu) bila verifikasi faktual benar-benar dilaksanakan.

Kelolosan menjadi peserta pemilu 2024 ternyata tidak semata-mata bahwa partai tersebut telah memenuhi syarat  sebagaimana yang telah ditetapkan  untuk menjadi peserta pemilu 2024 tetapi juga karena faktor politik. KPU tidak harus menjadi panitia yang independen sebagaimana seharusnya dalam menyelenggarakan hajatan pemilu 2024  tetapi  bisa juga KPU menjadi alat kekuatan politik tertentu sehingga memungkinkan oknum KPU terlibat atau menjadi bagian dari politik yang dikehendaki kekuatan politik tertentu itu dalam hajatan Pemilu 2024. 

Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari, misalnya, telah mendapatkan sanksi sebanyak dua kali karena melanggar kode etik dan mendapatkan peringatan keras dari DKPP. Pertama, terkait ucapannya yang mengomentari sistem pemilu proporsional tertutup. Kedua, terkait perjalanan ziarah dengan Ketua Umum Partai Republik Satu Hasnaeni alias Wanita Emas yang dinilai terkait dengan nasib Partai Republik Satu dalam Pemilu 2024.

Kita tentu bertanya-tanya: apakah terlibatnya KPU, "cawe-cawe" KPU  itu murni kehendak oknum-oknum KPU sendiri atau memang Lembaga KPU ini telah menjadi alat kekuatan politik tertentu yang tidak ingin hasrat politiknya terganjal atau terhambat oleh partai-partai yang dianggap tidak sejalan dengan kekuatan politik tertentu itu. 

Dalam hal ini, Partai Rakyat Adil Makmur -- PRIMA- yang sementara gagal menjadi peserta Pemilu 2024, telah menjadi korban politik KPU yang tidak independen  dan curang  alias tidak adil tersebut. Akibatnya jelas "cawe-cawe" PRIMA dalam turut menyelesaikan problem berbangsa dan bernegara melalu Pemilu masih harus menempuh jalan berliku dan "berbahaya" sebagaimana slogan Bung Karno di tahun revolusi: Vivere Pericoloso! Sebab, Kasasi Prima ke MA bisa berakibat penundaan atau pemunduran Pemilu 2024. (baca juga: https://nasional.kompas.com/read/2023/05/29/09302981/ma-proses-kasasi-prima-lawan-kpu-soal-putusan-penundaan-pemilu). Kemungkinan-kemungkinan dan peluang untuk memundurkan pemilu tentu ada mengingat "cawe-cawe" berbangsa dan bernegara ini banyak faktornya dan selalu ada alasan. Dalam sejarah pemilu kita sendiri, pemilu ditunda dari pemilu pertama tahun 1955 hingga Pemilu pertama Orde Baru di tahun 1971.

Menunda suatu peristiwa tentu ada udang di balik batu. PRIMA sendiri berkali-kali menyatakan bahwa "cawe-cawe" PRIMA tidak punya niat untuk menunda pemilu dan tidak terlibat di dalam gagasan menunda Pemilu demi kepentingan politik liyan.  PRIMA hanya ingin menjadi peserta pemilu 2024 dan atau mendapat keadilan.  Semoga ada jalan tengah sengketa antara PRIMA vs KPU di tangan lembaga yudikatif, Mahkamah Agung, yang sering dianggap sebagai Benteng Terakhir Keadilan sebagaimana  Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan dalam acara Blakasuta di chanel Youtube mojokdotco: https://youtu.be/_zeY2N8MAE4

 " Saya sangat meyakini Mahkamah Agung ..... paling jauh ya kompromilah...Pemilu tidak ditunda tapi Partai PRIMA tanpa harus ikut verifikasi, langsung diikutkan itu bisa."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun