Bila kita melihat sejarah masa lalu mosaik pendirian kekuasaan-kekuasaan di Nusantara, Republik Indonesia yang didirikan itu hanyalah salah satu jenis kekuasaan yang bisa bangkit dan juga tumbang. Usia Republik Indonesia saat ini telah melewati  Kerajaan Singhasari yang tumbang pada tahun ke-70 sejak pendiriannya tahun 1222 M.Â
Sriwijaya hampir berusia 700 tahun: berdiri pada abad ke-7 dan berakhir pada abad ke-13. Majapahit adalah kerajaan yang meliputi kurun waktu sekurangnya 193 tahun jika titik akhirnya adalah tahun 1486. Namun, ada dugaan bahwa kerajaan Majapahit baru benar-benar musnah pada dasawarsa kedua abad ke-16 atau berlangsung selama 230 tahun. (Lihat juga: Supratikno Rahardjo, Peradaban Jawa, Komunitas Bambu, Jakarta, 2011;57)
Dua kerajaan yaitu Sriwijaya dan Majapahit yang memiliki usia panjang ratusan tahun dengan wilayah kekuasaan yang luas sebagaimana kita tahu selalu menjadi inspirasi dalam melawan kolonialisme dan membangun Indonesia yang jaya. Â
Setidaknya Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, menyampaikan bahwa "Kita hanja 2 kali mengalami nationale staat yaitu didjaman Sri Widjaja dan didjaman Madjapahit. Diluar dari itu kita tidak mengalami nationale staat... Nationale staat hanja Indonesia seluruhnja, jang telah berdiri didjaman Sri Widjaja dan Majapahit dan kini pula kita harus dirikan bersama-sama."Â
Atas dasar pemahaman sejarah kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit inilah Bung Karno menyampaikan dasar Negara yang pertama yaitu Kebangsaan Indonesia. "Kebangsaan Indonesia jang bulat! Bukan kebangsaan Djawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain tetapi kebangsaan Indonesia, jang bersama-sama mendjadi dasar satu nationale staat."
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa geopolitik nusantara sebagaimana yang sudah dicapai Sri Wijaya, Majapahit dan Republk Indonesia adalah cita-cita ideal tempat seharusnya sebuah kekuasaan berdiri di Nusantara. Visi dan Misi pendirian kekuasaan bisa berganti-ganti tapi kesatuan wilayah nusantara itulah yang menjadi landasan ideal tempat berdirinya Nationale staat.Â
Keluasan wilayah itu sendiri semakin diperkokoh dan disatukan oleh ratusan tahun penjajahan Belanda yang menimbulkan perasaan senasib sepenanggungan rakyat dan bangsa-bangsa di nusantara sehingga semakin mantab dan bulat tekad untuk menjadi satu bangsa, satu tanah air  dan satu bahasa, sebagaimana ditunjukkan dalam Sumpah Pemuda 1928.Â
Begitulah klaim kita kemudian di hadapan hukum internasional bahwa wilayah Republik Indonesia adalah bekas jajahan Belanda yang disebut dengan Hindia Belanda sehingga tidak meliputi jajahan Inggris di Kalimantan Utara dan Semenanjung Malaysia; juga Timor-Timur jajahan Portugal. Republik Indonesia yang baru berdiri itu pun bertekad merebut Papua Barat sebagai kesatuan Indonesia karena merupakan jajahan Belanda. Sementara itu Timor-Timur, yang digabungkan ke Indonesia tidak mendapatkan dukungan internasional dan bulat secara nasional.
Pada hari-hari ini, Indonesia pun di hadapkan pada sengketa wilayah di sekitar Laut Tiongkok Selatan. Semua ini menunjukkan bahwa batas-batas wilayah masih terus bisa berubah. Indonesia pun bersiap menghadapi sengketa Laut Cina Selatan.Â
Beberapa kali terjadi "persinggungan" antara kapal-kapal patroli TNI AL dengan kapal nelayan serta penjaga pantai China. Presiden Joko Widodo pun sempat menggelar rapat kabinet di atas kapal perang di perairan Natuna sekaligus mengirimkan pesan kepada China bahwa Indonesia akan mempertahankan wilayahnya yang terpencil itu.