Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Membaca Nagarakretagama

30 Januari 2023   23:04 Diperbarui: 12 Februari 2024   23:33 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perpustakaan, koleksi buku. (sumber: Unsplash/Alfons Morales via kompas.com)

Nagarakretagama sejak selesai ditulis Penyair Prapanca tahun 1365 sudah berumur 658 tahun pada tahun ini: 2023. Barangkali puisi Jawa Kuno ini yang disebut Kakawin, justru tidak populer di masa Majapahit atau di Jawa. 

Sebagaimana kita ketahui, Kakawin Nagarakretagama yang sampai pada kita, tak lebih dari 10 jari dan itupun ditemukan tidak di tanah Jawa tetapi di Pulau Lombok dan Bali.

Walau begitu Kakawin ini semakin populer dan dibaca banyak sarjana untuk melihat masa lalu Indonesia dengan berbagai perspektif. UNESCO, lembaga PBB yang bergerak di bidang kebudayaan juga mengakui bahwa Nagarakretagama sebagai salah satu bagian dari Memory of the World. 

Bung Karno pun menjadikannya melalui gambaran Majapahit sebagai negara nasional kedua setelah Sriwijaya dan di atas keluasan wilayah Majapahit itulah seharusnya negara nasional Indonesia berdiri pada Pidatonya yang bersejarah 1 Juni 1945 yang menandai lahirnya dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia: 

Pancasila. Tak hanya itu, barangkali kolonialisme Belanda pun yang bernama Hindia Belanda meyakinkan dirinya sebagai pewaris dari wilayah yang ditinggalkan Kerajaan Majapahit. 

Begitulah Pemerintahan Kolonial Belanda begitu getol untuk merebut seluruh bekas yang disinyalir sebagai wilayah kekuasan Majapahit sebagaimana yang digambarkan Penyair Prapanca dalan Kakawin Nagarakretagama.

Lebih dahulu dari citra Sriwijaya yang baru dikenal oleh kaum pergerakan kemerdekaan Indonesia setelah tahun 1918 melalui karya tulis George Coedes.

Kejayaan Majapahit yang digambarkan Prapanca melalui karya tulis Nagarakretagama sudah mulai dibaca serius hampir seperempat abad sebelum Sriwijaya "ditemukan" George Coedes yaitu setelah penemuan Prof. Brandes di kancah Perang Lombok pada tanggal 18 september 1894. 

Dengan begitu pembacaan Nagarakretagama atau "Kisah Pembangunan Negara" sejak ditemukan Brandes tersebut hingga hari ini sudah berlangsung 129 tahun.

Mengenai nasib Nagarakretagama Brandes tersebut, sejauh yang bisa diketahui penulis, Nagarakretagama temuan Brandes itu lama berada di Belanda. 

Sebagaimana kemudian diberitakan Kompas Minggu, 15 Mei 1983, halaman 10 & 12, pada bulan September tahun 1970, (Jadi tepat 76 tahun Penemuan Brandes), Nagarakertagama temuan Brandes tersebut dikembalikan ke Indonesia oleh Ratu Yuliana. 

Ada pertanyaan kemudian: "Lalu setibanya kembali di Indonesia, lembaga mana yang harus merawat? Selanjutnya tidak pernah didengar lebih jauh nasib dari karya istimewa Prapanca ini. 

Bahkan tempat penyimpanannya pun masih tanda tanya." (Baca juga: I Gusti Made Warsika, Bali Kuno, Runtuhnya Kerajaan Majapahit dan Pengaruhnya terhadap Bali, Pustaka Bali Post, Denpasar, Bali, 2017; 101)

Kita mengerti, kaum pergerakan kemerdekaan Indonesia, termasuk Bung Karno, menggunakan Majapahit: kejayaaan dan keagungannya sebagaimana yang digambarkan Nagarakretagama sebagai kisah yang jaya dari masa lalu Indonesia untuk membangkitkan dan memberanikan rakyat untuk melawan keangkuhan kolonialisme Belanda. 

Kakawin Nagarakretagama dengan demikian seakan menjadi puisi-puisi perlawanan yang mengiringi slogan "Merdeka atau Mati" para pejuang kemerdekaan di garis depan. 

Bahkan Mohammad Yamin, menuntut bahwa wilayah Negara Nasional yang hendak didirikan adalah bekas wilayah Majapahit yang prasasti terjauhnya juga ditemukan di Singapura dan Sumbawa; sementara yang lain menekankan hanya bekas jajahan Hindia Belanda. 

Di masa kemerdekaan kemudian, Ilmuwan Indonesia Slamet Muljana mulai membaca dengan serius Nagarakretagama yang kemudian terbit pada pertengahan tahun 1979 sebagai buku berjudul Tafsir Sejarah Nagara Kretagama. 

(kini diterbitkan lagi oleh LKIS Yogyakarta). Dalam pengantarnya, ia menulis dengan nada ragu dan merasa sia-sia sambil memberikan kebaikan dan keunggulan perlunya membaca Kakawin Nagarakretagama.

"Dalam lintasan secepat kilat, kelihatannya terbitan ini tidak sesuai dengan menggeloranya semangat pembangunan di seluruh tanah air Indonesia pada saat ini sehingga timbul kesan seolah-olah usaha itu adalah penyia-nyia waktu dan tenaga. 

Waktu dan tenaga yang sangat berharga itu dapat digunakan untuk usaha-usaha lain yang secara langsung dapat menunjang pembangunan semesta pada saat ini.

Suatu kebetulan Nagarakretagama adalah suatu sejarah pembangunan kerajaan Majapahit di masa yang lampau. Banyak sedikitnya ada titik pertemuan antara pembangunan kerajaan Majapahit enam abad yang lampau dan pembangunan Negara Republik Indonesia masa kini, meskipun situasi dan kondisi kedua negara itu berbeda-beda. 

Menurut penglihatan saya, sejarah bukanlah pelarian ke masa yang sudah silam untuk menghindari masa sekarang, melainkan adalah senjata ampuh yang selalu siap digunakan demi menghilangkan hambatan-hambatan: sangat berguna dalam perjuangan kebudayaan yang mengarah kepada pembentukan kepribadian suatu bangsa. 

Lagi pula, sejarah ikut serta menetapkan masa depan. Soal bagaimana akan menggunakan senjata itu, banyak tergantung kepada sikap mental generasi sekarang dan yang akan datang"

Tentu saja pembacaan Nagarakretagama di masa kolonial, di masa kemerdekaan dan di masa kini: akan berbeda-beda bahkan tidak perlu harus seperti yang diharapkan penulisnya sendiri sebagai Puja Sastra. 

Tetapi sebagai bacaan yang telah melintasi berbagai zaman dan sempat menjadi roh penyemangat cita-cita bangsa yang terjajah, kita patut bertanya: apakah Indonesia kini sudah melampau kejayaan dan keagungan Majapahit? Kapan, jika belum?

Jika kita percaya pada siklus kejayaan Nusantara 700 tahun sekali, jawabnya adalah pada abad XXI ini. Pada abad XXI ini pula, kekuasaan dikonsolidasikan setelah meruntuhkan kekuasaan yang dikenal rakyat sebagai kekuasaan yang koruptif, kolusif dan nepotis. "L'histoire se repete." Demikianlah orang Prancis berkata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun