Tetapi di era reformasi seperti sekarang, justru kita menemukan keanehan-keanehan yang menggelikan sekaligus mengerikan karena berpolitik tanpa epistemologi itu. Misalnya: segala yang jahat atau perbuatan dosa dan tidak menyenangkan  ditimpakan kepada PKI, partai yang oleh Orde Baru dianggap sebagai dalang tragedi 1965. Padahal kalau kita berpengetahuan atau punya prinsip epistemologis, kita tahu PKI tidak hanya di seputar peristiwa 1965.
 Sejarah PKI dan jaringannya lebih luas dari itu dan PKI secara formal di era reformasi tidak ada dan sebagainya. Yang lain misalnya dalam kasus LGBT, yang dianggap sebagai  sumber bencana alam karena merebaknya LGBT membuat kemurkaan Tuhan, sehingga secara politik LGBT harus dilarang di mana-mana: tidak boleh berkumpul dan tidak boleh menduduki jabatan politik.  Anehnya untuk lawakan dan hiburan boleh.
Politik tanpa epistemologi tentu merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sana politik hanya menghasilkan fanatisme buta. Demokrasi menjadi tidak sehat. Kedewasaan politik pun menjauh. Dengan begitu, politik yang bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia itu tak tercapai bahkan sekadar untuk menjadi diri sendiri agar antara kata dan perbuatan sesuai. Pengetahuan ada dan cukup tapi perbuatannya justru mengkhianati pengetahuan atau kata-katanya sendiri. Â Itulah para koruptor yang tinggal dan hidup bersama kita.