Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Book

Papua, Budak, dan Majapahit

23 Januari 2023   22:25 Diperbarui: 24 Januari 2023   18:37 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Resensi Buku

Judul                              : Saya Bukan Bangsa Budak

Pengarang                   : Socratez Sofyan Yoman

Penerbit                       : Cendrawasih Press, 2012

ISBN                              : 978-602-8174-95-4

Jumlah halaman      : 295 h

Judul buku ini: Saya Bukan Bangsa Budak, karya Socratez Sofyan Yoman, tentu memprovokasi sidang pembaca, terlebih dari Indonesia, yang menjadi tertuduh langsung. Bagaimana mungkin di abad ke-21 ketika struktur masyarakat  perbudakan digantikan demokrasi, tempat partisipasi masyarakat diperluas  bahkan secara formal tidak membedakan-bedakan warna kulit dan kelas ekonomi, masih saja ada yang diperbudak dan meyakinkan diri atau memproklamasikan diri bahwa "Saya Bukan Bangsa Budak". Buku ini sendiri terbit dan terdaftar dalam katalog Perpustakaan Nasional Republik Indonesia; diterbitkan oleh Penerbit Cenderawasih Press, cetakan I, tahun 2012.

Tentu saja, dalam hal perbudakan,  buku ini tidak membicarakan perbudakan secara ekonomi politik atau sejarah masyarakat dalam perspektif Hegelian atau lebih jelasnya Marxisme yang umum kita kenal bahwa masyarakat  hingga sekarang  telah melewati Masyarakat Perbudakan sebagaimana ditunjukkan dalam masa 5000 Sebelum  Masehi termasuk dalam sistem politik Demokrasi Yunani ataupun Republik Romawi yang tetap kelancaran ekonomi- politiknya ditopang oleh perbudakan. Itu pun sudah menjadi kegelisahan Kaisar Marcus Aurelius yang dalam renungannya dan seruannya agar Roma meninggalkan perbudakan dan menghentikan perang perbudakan demi kelangsungan Kekaisaran Roma sendiri. Caranya yaitu dengan menarik bangsa-bangsa yang selama ini menjadi koloni Roma dan sumber perbudakan Roma menjadi warga negara Roma tanpa membedakan jenis bangsa dan warna kulit. Dalam kasus Roma, kita mengenal pemberontakan budak dengan tokoh yang sangat populer yaitu Spartacus. 

Adanya pemberontakan-pemberontakan budak ini memaksa perubahan struktur masyarakat yaitu menuju feodalisme. Dengan adanya Revolusi Perancis 1789, feodalisme dianggap punah dan masyarakat menempuh jalan kapitalisme yang menghasilkan kaum borjuis dan kebebasan, karena para hamba atau pun yang masih dalam keterhinaan sebagai setengah budak yang terikat dengan tuan feodalnya kini dibebaskan untuk memilih sendiri: bekerja atau tidak berdasarkan upah yang ditentukan. Demi keberlangsungan dan kelancaran Kapitalisme, dalam abad ke-19 misalnya (perang) pembebasan budak pun berlangsung  seperti misalnya yang terjadi di Amerika Serikat sebagaimana dinovelkan dengan apik oleh Margareth Mitchel dalam Gone with The Wind (Lalu bersama Angin), di  Rusia dan juga Hindia Belanda  (Indonesia di  masa kolonialisme). Perbudakan secara resmi dihilangkan dari Hindia Belanda oleh pemerintah kolonial  pada 1 Januari 1860.

 Propaganda Marxis menyebut masyarakat kapitalisme adalah juga masyarakat perbudakan yaitu perbudakan modern berdasarkan upah. Karenanya kapitalisme  juga mendapatkan sistem  tantangannya untuk memusnahkan kapitalisme yaitu Sosialisme bahkan keharusan musnahnya Kapitalisme ini, bagi mereka yang percaya, kapitalisme dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhannya akan sampai pada menggali lubang kuburnya sendiri sebagaimana diperlihatkan oleh sejarah bagaimana sistem-sistem besar masyarakat itu punah: Komunalisme  atau dikenal juga komunisme purba nglungsungi menjadi  perbudakan lalu feodalisme, lantas kapitalisme; dan di atas mayat  kapitalisme itulah hidup sosialisme. Pertarungan hidup-mati antara keduanya itu masih berlangsung sampai sekarang  walau banyak negara yang mengusung sosialisme  pada masa ini banyak yang tumbang. Singkatnya,  warga dunia sekarang sedang menempuh dua jalan: yaitu masyarakat Kapitalisme dan Masyarakat  Sosialisme. Masyarakat Perbudakan tentu sudah jauh ditinggalkan.

Lalu perbudakan seperti apa yang  dimaksudkan buku ini? Socrates Sofyan Yoman menulis pada halaman 15: "Para pembaca  yang mulia dan terhormat, kalau kita ikuti dinamika kekerasan Negara ....Penduduk  Asli Papua, pemilik sah Negeri  ini diperlakukan dan ditempatkan seperti budak dan martabat  kemanusiaan  mereka sangat direndahkan. Oleh karena itu, saya sebagai salah satu gembala dan sahabat teman manusia yang sedang mengalami penderitaan perlakukan tidak adil ini, saya mengambil peran untuk berkhotbah di mimbar terbuka kepada publik dengan judul khotbah saya: "Saya Bukan Bangsa Budak". Perlakuan tidak adil yaitu  memperlakukan masyarakat Papua seakan seperti budak inilah yang menjadi tekanan dari buku ini bagaikan refrain yang diulang berkali-kali dalam berbagai artikel Socratez Sofyan Yoman di berbagai media yang kemudian dikumpulkan, dijadikan buku "Saya Bukan Bangsa Budak".

Dengan begitu jelas bahwa perbudakan yang dimaksudkan adalah berhubungan dengan perlakuan pemerintah (Indonesia)   yang dianggap memperlakukan Papua seakan sebagai negara jajahan bukan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tentu saja ini adalah problem politik, lebih khusus lagi problem pemerintahan, bukan pandangan atau sikap Bangsa Indonesia secara keseluruhan dalam memperlakukan Papua dengan kekerasan dan sebagainya. Jadi, tidak bisa dilihat secara dangkal.

Secara politik, Rakyat Indonesia menginginkan berlangsungnya sistem ekonomi politik berdasarkan Pancasila yang penuh dengan nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial dan ini menjadi usaha seluruh rakyat yang menghendaki politik demikian terjadi di  Indonesia dari Sabang  sampai Merauke. Tentu saja ini membutuhkan  perjuangan politik yang  berkuasa baik di parlemen atau pemerintahan sehingga mampu mewujudkan politik yang diharapkan.

Dalam hal kekhususan, adanya ketidakadilan di bumi Papua  dan seakan diperlakukan sebagai budak, ada berbagai solusi yang telah ditawarkan  sebagai jalan keluar yaitu otonomi khusus  dari pemerintah yang seakan menduplikat  pada jawaban yang telah  diberikan pada  persoalan  Aceh dan Yogyakarta. Tawaran yang lain datang juga dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang menginisiasi  Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) untuk bisa  terlibat dalam pemilu 2024  yaitu membangunkan  juga semacam otonomi khusus dengan lebih menekankan pada demokrasi dari bawah berdasarkan  pribumi Papua sebagai soko guru yaitu Dewan Rakyat Papua.

 Secara historis, Papua memang tidak bisa dipisahkan dari proses terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Dalam sejarah kunonya, Socratez Sofyan Yoman dengan mengutip  buku karya A. Ibrahim Peyon mengungkapkan: "...bahwa tidak ada bukti-bukti autentik  peninggalan sejarah Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya di seluruh Tanah Papua Barat dari Sorong sampai Merauke. Tidak ada candi-candi dan kuil-kuil yang ditemukan di sini. Dari sini terlihat bahwa semua itu hanya pembohongan, rekayasa sejarah dan mitos-mitos dengan tujuan mengkekalkan pendudukan dan penjajahan Pemerintah Indonesia demi kepentingan penguasaan ekonomi, politik, keamanan dan pemusnahan etnis Melanesia (Penduduk Asli Papua) (lihat halaman 19). Akan tetapi dalam Nagarakertagama, diungkapkan bahwa wilayah zuserin dalam sistem tributer Majapahit  termasuk juga Wanin  yang masuk Papua sekarang. 

Dan bila kita menengok sekilas ke belakang kita akan menemukan bahwa  dalam  hubungan diplomasi antara Majapahit dengan Kekaisaran Tiongkok, upeti yang dipersembahkan : selain Lada, rempah-rempah, mutiara,  juga budak-budak, terutama budak hitam.  Tercatat, misalnya,  pada 1381 Masehi, Majapahit mengirimkan sejumlah utusan yang membawa 300  budak hitam. Tahun selanjutnya,  membawa budak hitam pria dan wanita, yang berjumlah seratus orang.  (W.P. Groeneveldt, Nusantara dalam catatan Tionghoa, Komunitas Bambu, Depok, 2018;42)

Upeti budak hitam ini bukan monopoli Majapahit. Jauh sebelumnya, sekitar tiga abad sebelum Majapahit  berdiri,  Kalingga yang terkenal dengan Ratu Sima itu, sudah menjadikan budak hitam sebagai upeti. "Pada tahun 813, mereka mempersembahkan empat orang budak...Teks Tionghoa menyebutnya budak sangchi. Nama ini sering digunakan dan sepertinya menunjukkan orang kulit hitam. Saya tidak mengetahui asal nama ini," tulis W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa.

Koesalah Soebagyo Toer mencatat dalam Kronik Irian Barat terbitan Teplok Press bahwa pada awal abad VII,  saudagar-saudagar Sriwijaya mengunjungi Irian yang sudah dikenal sebagai daerah di mana terdapat berbagai macam Burung Cendrawasih yang luar biasa indahnya dan menjadi pokok berbagai macam dongeng. Para saudagar Sriwijaya itu  menyebut Irian dengan nama "Janggi"  yang sampai kini masih tersimpan dalam bahasa Jawa Kuno dan bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, janggi berarti orang hitam. Dan Pada salah satu dinding Candi Penataran yang dibangun kira-kira pada abad VII di dekat Kota Blitar, terdapat relief seekor Burung Kasuari yang tidak terdapat di daerah Indonesia manapun kecuali di Irian Barat. Juga  diketahui bahwa Maharaja Mauli dari Dharmmacraya, pada 1377  mengirim utusan ke Tiongkok dengan membawa pelbagai upeti di antaranya Burung Kaswari. Selain itu, ada cerita di Babad Tanah Jawa bahwa Raden Bondan Kejawan ialah putra Brawijaya, raja terakhir Majapahit dari seorang permaisuri asal Wandan, suatu suku yang berkulit kehitam-hitaman.

Dengan demikian, "budak hitam" upeti Majapahit itu kemudian juga mendapatkan posisi terhormat melalui kisah Bondan Kejawan. Orang-orang berkulit hitam atau kehitam-hitaman itu menjadi bagian dari Majapahit yang menguasai Nusantara sebagaimana dicatat Nagarakertagama karya penyair Prapanca itu.

Penyatuan Nusantara itu, bila kita mau jujur,  semakin disempurnakan oleh, kalau kita percaya terhadap kehendak Tuhan, orang-orang kulit putih yang menjajah Nusantara yang mulai retak-retak, terpecah, lemah dan kehilangan epistemologinya sebagai Bangsa Nusantara.  Bangsa Portugis, Inggris dan  terutama Belanda telah membuat bangsa-bangsa di Nusantara menjadi satu di  bawah Negara Hindia Belanda sebagai koloni Kerajaan Belanda. Dengan begitu, menjadi senasib dan sepenanggungan sehingga memenuhi syarat untuk menjadi bangsa baru bernama Indonesia sebagai kebalikan  dari Hindia Belanda.  

Indonesia hari ini tentu lebih maju dari apa yang telah dilalui Kalingga,  Sriwijaya, Majapahit dan Belanda. Tak ada budak hitam yang dijadikan upeti persembahan demi lancarnya diplomasi dengan negara lain. Semua warga negara diperlakukan sama entah dari mana asalnya.  Bukankah seharusnya demikian...?

Tangerang, Januari 2023


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun