Malam itu, Galeri Nusantara lagi heboh banget sama pameran seni kontemporer. Ayesha, kurator seni berumur 28 tahun, melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Dia pakai dress biru tua yang matching sama hijabnya, tampak elegan dan cool.
Ayesha berhenti di depan sebuah lukisan abstrak besar yang penuh warna. Matanya menyapu setiap detail, benar-benar menikmati keindahannya. Tiba-tiba, dia sadar ada seseorang di sebelahnya, seorang cowok yang juga kelihatan terpesona dengan lukisan yang sama.
"Indah, ya?" suara cowok itu bikin Ayesha menoleh. Dia lihat seorang pria dengan senyum hangat, rambut sedikit berantakan, dan tatapan mata yang penuh semangat.
"Oh, ya. Ini salah satu favorit aku," jawab Ayesha sambil tersenyum.
"Gue Bima, arsitek," cowok itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.
"Ayesha, kurator seni," jawabnya, menyambut uluran tangan Bima. "Senang kenalan sama lo."
"Apa yang bikin lukisan ini begitu spesial buat lo?" tanya Bima, masih memandangi lukisan itu.
Ayesha mulai menjelaskan dengan antusias, "Lukisan ini nangkep banget esensi perubahan dan pergerakan dalam hidup. Setiap sapuan kuasnya kayak perjalanan emosional yang dalam banget."
Bima mengangguk, kelihatan terkesan. "Menarik. Gue selalu mikir kalau seni itu cara terbaik buat ngungkapin perasaan yang susah dijelaskan dengan kata-kata."
Percakapan mereka terus berlanjut, dari satu karya seni ke karya seni lainnya. Ayesha merasa nyaman banget ngobrol sama Bima. Mereka share pandangan tentang seni, hidup, dan mimpi-mimpi mereka.