Mohon tunggu...
Ajeng Puspitasari
Ajeng Puspitasari Mohon Tunggu... -

Saya seorang mahasiswa S3 dalam jurusan Psikologi Klinis di University of Wisconsin - Milwaukee. Saat ini saya juga sedang menyelesaikan internship saya sebagai Clinical Psychology Resident di Brown University. Bidang spesialisasi yang sedang saya pelajari adalah depresi dan Behavior Therapy.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Apa Salah Jika Kita Sedih? - Persepsi Psikologi Tentang Emosi yang Membebani

21 Mei 2014   04:54 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:18 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu manfaat dari perkembangan teknologi saat ini adalah meningkatnya efisiensi waktu dan tenaga dalam mengerjakan berbagai hal. Komunikasi menjadi sangat cepat dan terjangkau. Transportasi juga sudah sangat canggih, memungkinkan kita untuk menuju ke berbagai tempat dengan waktu yang relatif singkat. Secara alami kita perlahan menjadi generasi yang terbiasa dengan hal-hal yang instant. Contohnya, beberapa tahun lalu, kita bisa memaklumi dan sabar jika waktu yang dibutuhkan untuk mengakses sebuah website membutuhkan waktu paling tidak satu menit bahkan bisa lebih. Tapi sekarang, apa yang kita rasakan jika website yang kita buka belum juga muncul tampilannya setelah ditunggu 20 detik?

Budaya instant ini juga mempengaruhi bidang lain seperti bidang pendidikan, kulinari, dan juga kesehatan. Meskipun banyak sekali manfaat dari perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, dalam artikel ini saya ingin membahas dampak budaya instant pada kesehatan jiwa, terutama dalam cara kita meregulasi emosi atau perasaan.

Coba bayangkan terakhir kali anda merasa sedih, marah, kecewa, khawatir, kesepian, atau perasaan yang membebani lainnya. Pada saat itu, jika anda bisa ingat, apa yang ingin anda lakukan untuk mengatasi perasaan tersebut? Jika anda seperti kebanyakan orang lainnya di dunia, kemungkinan besar anda ingin segera menghilangkan perasaan ini. Bahkan mungkin orang-orang di sekitar anda juga ingin anda cepat-cepat menghilangkan perasaan ini dengan mengatakan, “sudah jangan sedih/marah/kecewa lagi”.

Ini adalah reaksi yang sangat alami. Siapa yang suka menampung perasaan yang membebani di dalam dirinya? Keinginan untuk segera menghilangkan perasaan yang membebani ini sangat bisa dimengerti, namun budaya baru ini juga mempunyai beberapa dampak negatif dalam kesehatan jiwa manusia. Ini beberapa hal yang sudah didokumentasikan oleh riset yang muncul di masyarakat kita karena dorongan besar untuk menghilangkan atau menghindari perasaan yang membebani.

1.Stigma

Memiliki perasaan sedih, kecewa, takut, atau cemas sering dilihat sebagai sesuatu yang salah. Beberapa contoh bisa dilihat di kehidupan sehari-hari. Media sangat senang menyorot foto-foto artis yang sedang terlihat muram lalu menampakan headline yang fantastis seperti “Artis A masih belum bisa bangkit dari kasus tertangkapnya sang suami oleh pihak KPK”. Beberapa orang tua kadang merasa tidak nyaman ketika anaknya menangis atau merasa takut dan tanpa sadar mengeluarkan bujukan yang meng-invalidasi perasaan anak, seperti “coba jangan takut, harus berani dong” atau “jangan nangis, anak pintar gak boleh sedih”. Di beberapa negara, jika kita ditanya “how are you doing?” hampir dipastikan jawabannya “I’m good, thank you”. Jarang sekali orang menjawab “I’m feeling sad right now, but I’m trying my best to keep going” jika ditanya oleh orang yang bukan teman baik atau keluarga dekat.

Sering sekali adanya stigma ketika seseorang merasakan perasaan yang membebani. Dianggap perasaan ini adalah sesuatu yang salah. Sesuatu yang harus bisa dengan cepat diselesaikan, dihilangkan, atau dihindari. Banyak orang sering dipandang lemah, tidak mampu berjuang keras, atau bahkan gila ketika merasakan perasaan yang membebani.

Padahal riset sudah menunjukan bahwa emosi adalah sebuah reaksi fisik yang alami dan sulit untuk dikendalikan (Blackledge & Hayes, 2001). Coba anda buktikan sendiri. Saat ini bayangkan kejadian (e.g., pernikahan, wisuda) atau lihat sesuatu (e.g., anak, pasangan hidup, pemandangan indah) yang bermakna bagi hidup anda. Atau bayangkan kejadian sedih atau mengecewakan (e.g., keluarga yang meninggal dunia atau kalahnya tim bola favorit anda) Kemungkinan besar akan muncul sebuah perasaan di dalam diri anda, ini reaksi fisik yang alami. Lalu sekarang juga, coba hilangkan perasaan itu. Jangan anda rasakan. Jika anda seperti sebagian besar manusia, akan sangat sulit untuk otomatis menghilangkan perasaan ini, karena perasaan memang reaksi fisik yang sulit untuk dikendalikan.

2.Munculnya perilaku menghindar

Dampak lain dari usaha menghilangkan perasaan yang membebani adalah munculnya perilaku menghindar. Perlu dijelaskan bahwa perilaku menghindar berbeda dengan perilaku mengatasi. Perilaku mengatasi biasanya lebih produktif dan bertujuan untuk menyelesaikan akar permasalahan. Contohnya, seseorang kehilangan pekerjaan, ia merasa sangat sedih, cemas, dan ketakutan. Untuk mengatasinya, ia segera mencari pekerjaan baru dan memperbaiki pola hidup supaya tidak jatuh sakit. Ini bisa dilihat sebagai perilaku mengatasi permasalahan.

Sedang perilaku menghindar biasanya bisa menghilangkan perasaan membebani ini secara instant tapi tidak menyelesaikan inti permasalahan dan bahkan sering memperpanjang atau menciptakan masalah baru. Kecanduan alcohol atau obat-obat terlarang merupakan contoh yang sering muncul ketika seseorang ingin menghindari perasaan yang membebani. Namun banyak juga jenis-jenis perilaku menghindar yang mungkin dari pandangan kasat mata tidak terlihat seburuk kecanduan obat-obatan. Ini contohnya:

·Seorang mahasiswa menghabiskan berjam-jam pada berbagai situs sosial media karena ingin menghindari perasaan cemas saat harus menulis tugas akhirnya.

·Seorang istri merasa perlu selalu membeli sepatu dan baju baru untuk menghindari perasaan sedih karena suaminya berselingkuh.

·Seorang lelaki menghabiskan waktu sekitar 5 jam sehari di gym karena ingin menghilangkan perasaan takut akan bertambahnya berat badan.

3.Medikalisasi perasaan yang membebani

Fenomena terakhir adalah meningkatnya kemungkinan seseorang yang mengalami perasaan membebani yang natural dianggap sebagai penderita penyakit jiwa yang perlu penangan khusus. Penanganan medis yang paling sering diberikan adalah penggunaan obat anti-depresi.

Riset sudah mendokumentasikan bahwa penggunaan obat anti-depresi dalam 20 tahun belakangan ini cukup tinggi, meskipun mengalami sedikit penurunan antara tahun 2001 dan 2004 setelah dipublikasikan kemungkinan meningkatnya tendensi bunuh diri setelah menggunakan anti-depresi (Harman, Edlund, & Fortney, 2009). Obat anti-depresi tidak hanya banyak sekali diberikan pada orang dewasa namun juga kepada remaja dan anak-anak (Gilat et al., 2011; Hoffmann et al., 2014). Yang perlu juga kita ketahui adalah berbagai macam efek samping dari obat anti-depresi ini seperti penambahan berat badan, hilangnya keinginan seksual, diare, sakit kepala, insomnia dan beberapa reaksi fisik lainnya. Sehingga jika obat anti-depresi diberikan kepada orang yang hanya merasa sedih tapi tidak memenuhi kriteria penyakit depresi, bisa jadi mudarat dari obat ini lebih besar dari manfaatnya.

Beberapa penulis berkomentar bahwa banyaknya penggunaan obat anti depresi disebabkan oleh perubahan budaya dimana perasaan sedih yang merupakan bagian alami kehidupan mendadak dianggap sebagai masalah besar yang perlu dihilangkan secara cepat (Watters, 2010).

Lalu bagaimana mengatasi dan membantu orang-orang yang mengalami perasaan yang membebani? Pembahasan secara lengkap tentang penanganan masalah ini diluar dari cakupan artikel ini. Namun secara singkat, tahap pertama yang perlu dilihat adalah seberapa jauh perasaan ini menghambat fungsi keseharian. Jika seseorang merasa sedih atau cemas namun masih bisa bekerja, belajar, dan berinteraksi sosial mungkin perasaan membebani ini masih dalam taraf wajar atau manusiawi. Namun jika perasaan ini sudah menghambat fungsi keseharian bisa jadi perlu adanya intervensi psikologis untuk membantu orang tersebut mengatasi perasaannya.

Di Amerika, Eropa, dan beberapa negara lain sudah muncul gebrakan dari kalangan Psikolog dan psikiater dengan munculnya jenis psikoterapi yang sudah terbukti secara ilmiah yang memandang perasaan membebani sebagai sesuatu yang normal dan natural. Sehingga target dari terapi sendiri bukan untuk merubah perasaan seseorang, tapi untuk membantu pasien melakukan kegiatan dikehidupan sehari-harinya yang berdasarkan dengan prinsip hidup dan kepercayaannya meskipun pasien sedang merasakan sedih, kecewa, cemas, dan perasaan membebani lainnya. Beberapa contoh psikoterapi ini adalah Behavioral Activation (Kanter, Puspitasari, Santos, & Nagy, 2012), Acceptance and Commitment Therapy (Hayes, Strosahl, Wilson, 2012), dan Dialectical Behavior Therapy (Linehan, 1993).

Jadi apa salah jika kita merasa sedih? Berdasarkan riset terkini, merasakan perasaan sedih bukanlah sebuah kesalahan. Ini adalah reaksi alami kita sebagai seorang manusia. Reaksi ini, seperti bersin atau batuk, sulit untuk kita kendalikan secara langsung. Namun satu hal yang bisa lebih kita kendalikan adalah perilaku kita ketika mengalami perasaan yang membebani. Dalam artikel berikutnya saya akan membahas beberapa strategi yang bisa kita lakukan untuk terus berperilaku sesuai dengan prinsip hidup kita meskipun kita sedang merasa sedih, cemas, takut, atau kesepian.

Blackledge, J. T., & Hayes, S. C. (2001). Emotion regulation in acceptance and commitment therapy. Journal Of Clinical Psychology, 57(2), 243-255.

Gilat, Y. Y., Ben-Dor, D. H., Magen, A. A., Wolovick, L. L., Vekslerchik, M. M., Weizman, A. A., & Zalsman, G. G. (2011). Trends in prescribing of psychotropic medications for inpatient adolescents in Israel: A 10 years retrospective analysis. European Psychiatry, 26(4), 265-269.

Harman, J. S., Edlund, M. J., & Fortney, J. C. (2009). Trends in antidepressant utilization from 2001 to 2004. Psychiatric Services, 60(5), 611-616.

Hayes, S. C., Strosahl, K. D., & Wilson, K. G. (2012). Acceptance and commitment therapy: The process and practice of mindful change (2nd ed.). New York, NY US: Guilford Press.

Hoffmann, Falk, Gerd Glaeske, and Christian J. Bachmann. (2014). Trends in antidepressant prescriptions for children and adolescents in Germany from 2005 to 2012. Pharmacoepidemiology and Drug Safety, 1099-1557. doi: 10.1002/pds.3649

Kanter, J. W., Puspitasari, A. J., Santos, M. M., & Nagy, G. A. (2012). Behavioral activation: History, evidence and promise. The British Journal Of Psychiatry, 200(5), 361-363.

Linehan, M. M. (1993). Cognitive-behavioral treatment of borderline personality disorder. New York, NY US: Guilford Press.

Watters, E. (2010). Crazy like us: The globalization of the American psyche. New York, NY US: Free Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun