Mengajarkan Belanja Buku
Banyak siswa atau pelajar memilih belanja pulsa ketimbang belanja koran, majalah, atau buku bacaan untuk dirinya meskipun itu yang bekas dan murah.  Tidak terkecuali guru dan orang tua siswa, baik di pusat kota mapun di desa.  "Penyakit ber-medsos"  menjangkiti masyarakat dari berbagai usia, lapisan, dan status sosial. Kita bisa melihat di  mana-mana orang-orang sibuk memainkan gawainya ketimbang membaca koran atau buku. Di kendaraan umum, di kantor-kantor, menunggu antrean di rumah sakit, bahkan di rumah-rumah kita merasa langka melihat orang membaca buku. Yantina Debora (Tirto.id, 1 Mei 2107) menyebutkan bahwa berdasarkan data lembaga penelitian Nielsen, penduduk Indonesia setiap hari dapat menghabiskan waktu berselancar di dunia maya menggunakan komputer selama empat jam 42 menit, browsing di telepon genggam selama tiga jam 33 menit dan menghabiskan waktu di sosial media selama dua jam 51 menit. Bayangkan jika waktu selama itu digunakan untuk membaca buku.
"Musibah" media sosial saat ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Artikel Ahmad Djauhar (Solopos, 16/10/2017) berjudul "Eropa pun Galau Ihwal Media Sosial" menyebutkan kegalauan ihwal media sosial kini melanda hampir seluruh negara di dunia, tak terkecuali Eropa. Kegalauan itu dapat dirasakan dari berbagai perbincangan pada Konferensi Tahunan Aliansi Dewan Pers Independen Eropaatau (AIPCE) yang digelar di Budapest, Hungaria.
'Nafsu' pemakai gawai dan internet semakin susah dikendalikan. Ujaran kebencian (hate speech), berita sesat (hoaks), perisakan (bullying), dan plagiarisme menjadi dampak dari kurang bijaknya memanfaatkan gawai dan internet tersebut. Kita pasti sadar dan sepakat bahwa informasi di zaman digital sekarang ini semakin liar tersebar dan serba cepat. Ironisnya informasi itu dipercaya sebagai kebenaran tanpa menimbang apakah hal itu hoaks (kabar sesat) atau bukan. Kemalasan mencari sumber referensi yang dipercaya menjadi penyebab utama kebiasaan plagiat dan perisakan. Siti Badriyah (Tribunjateng.com "Melawan Hoax Lewat Pendidikan", 14 Oktober 2017) Â mengungkapkan bahwa masyarakat kita telah terbiasa dengan pola penerimaan informasi secara mentah-mentah. Nalar kritis dan skeptis belum terbentuk secara menyeluruh. Padahal, lemahnya nalar kritis dan skeptisme itulah yang menjadi akar berkembang biaknya hoaks di masyarakat.
'Wabah' ujaran kebencian, berita sesat, dan perisakan juga mengusik kerja pemerintah. Kasus Saracen tentu masih jelas teringat di benak kita. Kasus tersebut menginisiai pemerintah untuk membuat lembaga yang diberi nama 'Ciber Crime'. Kerja Ciber Crime memang kurang efektif jika hanya memblokir media yang sering memproduksi hoaks dan menangkap pelakunya. Bukankah ujaran kebencian, berita sesat, dan perisakan telah membudaya bersamaan dengan membudayanya gawai, internet, dan paket data? Jadi, tidak menutup kemungkinan akan muncul lagi pengujar kebencian dan penyebar berita sesat yang baru. Untuk itu perlu solusi yang lebih 'ampuh' ketimbang sekadar memblokir media dan menangkap oknumnya.
Ketergantungan terhadap gawai telah mengganggu 'kebahagiaan' anak-anak SD. Tidak sedikit orang tua siswa yang mengeluhkan kebiasaan anaknya bermain gawai. Mereka mengeluhkan anak-anaknya kini jarang membaca buku. Jika mengerjakan tugas atau PR dari guru mereka telanjur mengambil jalan pintas, 'tanya saja sama Mbah Google', kelar semua urusan. Mereka enggan melewati sebuah proses mulia membaca intensif dari buku-buku pelajaran yang berinformasi lebih sahih. Namun, ironisnya orang tua sendiri sudah memfasilitasi anak-anaknya yang masih SD dengan gawai yang canggih. Akibatnya anak-anak kini telah memiliki akun pribadi seperti WatsAp (WA), Instagram, Tweeter, dan Facebook. Grup WA anak-anak sekelas dan/atau teman sepermainan sekampung dengan mudahnya terbentuk. Tragisnya lagi informasi-informasi yang dikabarkan lewat grup tersebut menjadi tidak terkontrol oleh orang tua. Ujaran kebencian, berita sesat, perisakan, dan plagiarisme acap kali terjadi di grup tersebut tanpa kendali. Obrolan-obrolan mereka bukan lagi obrolan anak-anak seusianya.
Orang tua dan guru harus sedikit melakukan gerakan untuk mengalihkan ketergantungan anak dari gawainya ke buku. Pengalihan perhatian ke buku menjadi solusi alternatif yang ampuh untuk melawan hoaks dari akar masalahnya. Mengapa buku? Karena buku lebih beradab. 'Memuliakan' buku berarti memuliakan peradaban. Ingatan kita kepada Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Indonesia) dan para pendiri bangsa ini tidak terlepas dari membaca dan menulis buku perlu ditularkan kepada anak. Begitupun tokoh-tokoh dunia yang terkenang dengan jejak membaca dan menulis buku.
Mengalihkan perhatian anak ke buku memang butuh sabar, telaten, dan keteladanan orang tua dan guru. Keteladanan guru dan orang tua menjadi penentu keberhasilan gerakan ini. Agenda keluarga untuk belanja buku, mengapresiasi keberhasilan anak dengan buku, hadiah buku, dan/atau menabung untuk buku menjadi cara mengalihkan perhatian anak terhadap buku.
Belanja buku pernah saya anjurkan kepada setiap siswa kelas V SD Al Islam 2 Jamsaren. Setelah saya tanya ternyata uang saku mereka berkisar antara lima ribu hingga sepuluh ribu. Dari uang saku tersebut, sebanyak seribu atau dua ribu dicelengi sengaja untuk belanja buku di akhir bulan sambil jalan-jalan di toko buku, kios buku belakang Sriwedari, atau di 'Ngisor Ringin' utara Alun-Alun Utara. Mereka membayangkan jika nyelengiseribu rupiah maka sebulan akan terkumpul tiga puluh ribu rupiah. Jika nyelengi dua ribu rupiah maka mereka mendapat enam puluh ribu rupiah sebulan. 'Imajinasi' anak tentang uang dan belanja buku memang cukup sederhana. Nyelengi sebulan akan terkumpul Rp30.000 s.d Rp60.000 maka dalam jangka waktu tersebut mereka dapat membeli satu atau dua buku baru. Bulan berikutnnya mereka kembali nyelengi sambil membaca satu atau dua buku baru yang telah dibelinya bulan lalu hingga selesai. Jadi dalam setahun minimal mereka telah mengkhatamkan dua belas judul buku.
Obsesi memiliki perpustakaan pribadi juga muncul seiring dengan berimajinasi belanja buku. Setiap dua bulan saya bertanya kepada anak-anak tentang agenda belanja bukunya. Sebagian dari mereka menjawab ada yang mampu belanja dua atau tiga buku dan sudah membacanya. Agenda yang lain, yaitu saling meminjamkan buku untuk dibaca menjadi awal mereka untuk mencintai buku.
Memang, di era yang serba digital sekarang ini tidak mudah mengajak anak untuk berbuku. Tetapi sikap optimistis wajib dimiliki orang tua dan guru untuk mengajak anak berbahagia dengan buku. Pernah pada penyerahan rapor kenaikan kelas, saya mendapat hadiah buku dari siswa yang buku tersebut merupakan karyanya sendiri. Lantas saya ingat dengan pesan Ki Hajar Dewantara, "Bacalah  apa saja yang patut untuk ditulis, dan tulislah apa saja yang patut untuk dibaca". Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H