Indonesia yang kaya dikenal dengan keanekaragaman, corak suku bangsa, sehingga membuat bangsa Indonesia memiliki ragam bahasa, budaya, ras dan adat istiadat yang berbeda. Dengan bermacam ragam bahasa, budaya, dan adat istiadat dalam masyarakat maka bermacam-ragam pula kaidah dan norma yang hidup dan tumbuh serta berkembang dalam setiap masyarakatnya. Kekayaan ini menciptakan sebuah mosaik sosial yang unik, di mana interaksi antar budaya dapat memperkaya pengalaman hidup dan saling pengertian antar warganya. Keragaman ini tidak hanya memperkaya identitas nasional, tetapi juga memberikan tantangan dalam membangun kesatuan dan persatuan di tengah perbedaan yang ada.
Dalam masyarakat yang terdapat dalam wilayah Indonesia, memiliki bahasa dan aturan tradisionalnya sendiri, dan permainannya juga berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dalam setiap permainan tradisional  juga dikenal aturan adat, artinya setiap etnis memiliki kearifan lokalnya sendiri. Kata kearifan lokal (lokal wisdom), secara terminalogis dapat dipahami sebagai gagasan atau pandangan setempat yang bersifat bijaksana penuh kearifan bernilai baik yang tertanam  dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Demikian juga dengan olahraga tradisional merupakan hasil dari tradisi dan kebudayaan masyarakat yang harus dilestarikan. Dewasa ini permainan tradisional semakin memudar dan tenggelam dalam arus  modernisasi yang mendunia. Generasi sekarang semakin kehilangan kemampuan dan kreativitas dalam memahami prinsip kearifan lokal di era revolusi industri 4.0, khususnya Olahraga tradisional, sehingga masyarakat harus mampu mempertahankan budaya lokal dan tradisional. Kabupaten Nagekeo Nusa Tenggara Timur mempunyai olahraga tradisional tinju adat (etu), Permainan olahraga tradisional etu ini sangat unik dan menarik, serta mengandung nilai budaya dan tradisi serta menjunjung tinggi nilai sportifitas, sehingga permainan ini perlu untuk dilestarikan oleh generasi-generasi penerusnya.
Olahraga tinju adat Etu merupakan sarana untuk memperoleh pengalaman gerak yang berguna bagi  pertumbuhan  dan  perkembangan  fisik  dan  kebugaran,  selain  itu  untuk  mempersatukan, mengakrabkan yang satu dengan yang lain, memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan budaya  suatu  masyarakat.  Namun  masyarakat  seringkali  tidak  menyadari  bahwa  masyarakat  telah melakukan  aktifitas  olahraga  dalam  kehidupan  budaya  mereka (Horton  &  Hunt,  1996).  Demikian juga  pada  kehidupan  masyarakat  di  Nagekeo.  Salah  satu  budaya  khas  masyarakat  Nagekeo  adalah etu (Tinju  adat)  Nagekeo. Etu adalah  seremonial  pagelaran  tinju adat untuk  uji  kejantanan  antara pemuda  di  Kabupaten Nagekeo, Flores, Nusa  Tenggara  Timur. Etu berarti  tinju  adat  dalam  bahasa Lokal.  Etu  atau  tinju  adat  ini  berbeda  dengan tinju konvesional. Para  petarung  menggunakan kepo sebagai  sarung  tinjunya  dan  terbuat  dari  anyaman  ijuk, petarunghanya  boleh  memukul  lawannya dengan  tangan  yang  memakai kepo tersebut  sedangkan  tangan  satunya  hanya  digunakan  untuk menangkis. Tinju adat etu memiliki beberapa keunikan dibandingkan dengan tinju  konvensional diantaranya  pada  perlengkapan  yang  digunakan  oleh  para  peserta  tinju  dan  peraturannya  sangat berbeda.  Selain  memiliki  keunikan tersendiri etu (tinju  adat) juga  memiliki  hubungan  yang  sangat erat dengan  tinju  dalam  olahraga  profesional.
Bagi  masyarakat  Kabupaten  Nagekeo Etu adalah  seremonial pagelaran  tinju adat untuk menguji kejantanan antara pemuda di Kabupaten Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Etu dalam bahasa Keo berarti  tinju  adat.  Sebagaimana  layaknya  olahraga  tinju, Etu yang  merupakan  warisan leluhur  masyarakat  kabupaten  Nagekeo sangat  berbeda  dengan  tinju  modern. Selain itu, tinju etu juga merupakan bagian integral di dalam rangkaian adat  mulai  dari  menanam  hingga  memanen  yang  sudah  berlangsung  berabad  lamanya  di  tengah suku  Nagekeo  dan  Ngada.  Bagi  mereka,  tinju etu juga  merupakan  bagian  dari  ritual  adat  lainnya yang  wajib  dilaksanakan  di kisa nata (alun-alun)  rumah  adat  (sa'o waja)  yang  merupakan  pusat  dari kegiatan  adat  dan  kebudayaan  masyarakat  setempat. Di tengah-tengah kisa  nata itu  terdapat  tugu kayu bercabang dua yang dipancang di atas batu bersusun (peo) yang melambangkan persatuan dan persekutuan  masyarakat.  Sehari  sebelum etu digelar,  seluruh  masyarakat  memadati  kisa  nata dan merayakan malam itu dengan pertunjukan seni musik dan tari (dero).
Nilai luhur yang terkandung dalam Etu. Pertama: Olahraga tinju adat Etu merupakan warisan leluhur masyarakat kabupaten Nagekeo sangat berbeda dengan tinju modern.  Untuk  tinju adat atau Etu setiap akhir pertandingan meski para petarung etu mengalami lebam dan berdarah, tetapi tidak boleh dendam terhadap lawan. Sehingga diakhir pertandingan, para petinju ini justru harus saling berpelukan dan melambaikan tangan kepada para penonton. Sikap ini merupakan simbol perdamaian, persaudaraan dan persatuan. Selain itu, tinju etu juga merupakan bagian integral di dalam rangkaian adat mulai dari menanam hingga memanen yang sudah berlangsung berabad lamanya di tengah suku Nagekeo dan Ngada, yang terus dilaksanakan setiap tahun. Tinju adat Etu juga sebagai penggagas (pioneer) dan daya Tarik pariwisata di kabupaten Nagekeo, dimana kabupaten Nagekeo merupakan salah satu kabupaten di pulau Flores yang menjadi destinasi wisata dunia. Kedua: Peran tua  adat/tokoh  adat  dalam  melaksanakan  etu. Kesadaran sejarah mengisyaratkan bahwa apa yang terjadi pada masa lalu tidak hanya berhenti pada masa lalu saja, tetapi terus memiliki dampak hingga kini. Penceritaan kembali masa lalu amat penting, karena dapat membantu warga melihat dinamika masyarakat dengan konteks lebih luas dan dengan prespekti lebih kaya. Para tua-tua adat biasanya dipercayakan dalam  mempersiapakan  segala  sesuatu  terkait  ritual  adatdengan  ritus-ritus  tertentu,  sebelum  melaksanakan  tinju  adat Etu. Bagi  tua-tua  adat  kabupaten Nagekeo kearifan lokal (local wisdom) yang mereka terapkan dalam penyelesaian masalah dalam tinju adat etu,  mempunyai  legitimasi  yang  kuat  dalam  masyarakat  mereka.  Jika ada pihak yang merasa dirugikan, atau tidak adil dalam melaksanakan tinju adat Etu,maka  peran  para  tokoh  adat  untuk menyelesaikaan  setiap  persoalan  begitu  penting  karena  mereka  selalu  menjaga  nilai sportifitas dan kebersamaan diantara mereka. Ketiga: Pembentukan karakter masyarakat dalam olahraga etu. Untuk tinju modern ada kalah dan menang sedangkan dalam tinju adat atau etu ini, setiap  pertandingan  berakhir, para  petinju  ini justru  harus  saling berpelukan  dan  melambaikan  tangan  kepada  penonton. Sikap  kesatria  ini  merupakan  simbol perdamaian, persaudaraan dan persatuan, dan keakrapan sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya mereka  yang  menjunjung  tinggi  nilai sportifitas. Tradisi  ini  juga  untuk  menjalin  harmonisasi persaudaraan dan ikatan kekeluargaan di antara sesama mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H