Film layar lebar berjudul "Vina Sebelum 7 Hari yang diadaptasi dari kisah nyata tentang seorang perempuan bernama Vina dan teman dekatnya, Muhammad Risky Rudiana alias Eky. Pasangan ini ditemukan dengan kondisi menggenaskan akibat dikeroyok oleh anggota geng motor di Cirebon, Jawa Barat pada tahun 2016. Film tersebut terbilang sukses dengan meraup sekitar 5,8 juta penonton diseluruh Indonesia bahkan sampai ke Malaysia. Menariknya, film ini ikut memicu perhatian masyarakat terhadap peristiwa ini, bukan saja karena kasusnya yang terhitung sadis namun juga karena kasus ini masih belum tuntas terselesaikan. Paling tidak, begitu menurut keterangan keluarga korban atau dalam hal ini keluarga Vina.
Penayangan film tersebut juga berlanjut ke media sosial dengan maraknya pembicaraan warga net terkait kasus Vina, dari situ Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat berkomitmen untuk menyelidiki kembali kasus ini dan menangkap para pelaku yang masih buron. Komitmen kepolisian tersebut membuktikan bagaimana peran media khususnya media sosial dalam mendorong pengungkapan kasus kasus tindak pidana. Sebelummnya juga ada kasus Sambo, kemudian kasus Mario Dendi dan yang masih "on going" adalah kasus yang menimpa seorang bocah SMP di Sumatera Barat yang ditemukan mengapung di sungai. Dalam kasus terakhir itu, pihak LBH Padang dan Kepolisian berbeda pendapat terkait kematian korban.
Media sosial memiliki peran yang sangat signifikan dalam pengungkapan kasus-kasus tindak pidana. Di era sebelumnya, informasi mengenai suatu kejadian hanya dapat diperoleh melalui berita di televisi atau surat kabar. Namun kini, dengan adanya media sosial, informasi dapat tersebar dengan cepat dan luas. Pertama, media sosial mempercepat penyebaran informasi. Ketika terjadi suatu tindak pidana, masyarakat dapat dengan segera mempostingnya di platform seperti Instagram, Twitter, atau Facebook. Dalam hitungan menit, ribuan orang dapat mengetahui kejadian tersebut dan mulai membicarakannya. Hal ini membuat kasus tersebut menjadi viral dan pihak berwenang tidak dapat lagi mengabaikannya. Kedua, media sosial berfungsi sebagai alat pengumpulan bukti. Banyak orang yang merekam kejadian atau mengambil foto tanpa menyadari bahwa hal tersebut dapat menjadi bukti penting. Video atau foto dari saksi mata yang diunggah ke media sosial sering kali membantu polisi dalam mengidentifikasi pelaku atau menyusun kronologi kejadian.
Ketiga, media sosial mendorong partisipasi aktif dari masyarakat. Masyarakat dapat membantu menyebarkan informasi, seperti foto buronan atau memberikan informasi kepada polisi jika melihat sesuatu yang mencurigakan. Hal ini mempercepat dan meningkatkan efektivitas investigasi. Dan terakhir, media sosial mampu meningkatkan transparansi pihak berwenang. Masyarakat dapat secara langsung menanyakan perkembangan kasus kepada akun resmi kepolisian atau pemerintah. Ini membuat pihak berwenang lebih bertanggung jawab dan tidak dapat sembarangan menutupi kasus. Dengan semua kekuatan yang dimiliki media sosial, tidak mengherankan jika banyak kasus tindak pidana yang lebih cepat terungkap dan penegakan hukum menjadi lebih transparan. Namun bukan berarti media sosial bisa leluasa karena sebagai negara hukum,
Indonesia juga mengatur prinsip prinsip yang melindungi kepentingan individu khususnya dalam penyebaran informasi di media elekteronik yang diatur dalam UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Beberapa poin penting dalam UU ITE antara lain:
1. Pasal 27 Ayat (3) tentang Penyebaran Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang melanggar kesusilaan.
2. Pasal 27 Ayat (4) tentang Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui media elektronik.
3. Pasal 28 tentang Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
4. Pasal 51 Ayat (2) tentang Tindak pidana penyebaran konten yang melanggar norma agama dan/atau norma kesusilaan.
UU ITE ini pada akhirnya juga memakan korban dengan beberapa kasus pidana yang mencuat karena unggahan di media sosial. Kasus kasus itu antara lain adalah kasus yang menimpa SF (22 tahun) warga Desa Sukokerto, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Dia ditangkap oleh tim Cyber Polres Probolinggo setelah mengunggah status di akun Facebook bernama Ferdy Damor pada 15 Desember 2017. Status tersebut diunggah setelah ia ditilang karena tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). SF dijerat Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (1) UU RI tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara dan denda satu miliar rupiah.
Kemudian kasus yang menimpa H (32 tahun), warga Kota Mamuju, Sulawesi Barat. Dia harus berurusan dengan kepolisian setempat akibat status di akun Facebook bernama Ancha Evus pada 15 Juli 2017. Status berjudul "Martabak Telor" ini ditulis agak panjang sehingga banyak pengguna Facebook yang tidak membacanya hingga selesai. Maksudnya bercanda dengan menyatakan Kota Mamuju berstatus siaga 1 karena kasus mutilasi terhadap Martha malah membuat resah warga Mamuju. Perbuatan H dinilai melanggar Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.