Menyenangkan rasanya, ketika kita mampu memenuhi keinginan orang lain, membuat orang lain bahagia, dan mendengar pujian yang mereka lontarkan kepada kita.Â
Yaa...sebagai makhluk sosial, manusia memang sangat suka jika eksistensinya pada kelompok sosial diakui dan dilihat. Sepertinya segala hal menjadi akan menjadi lebih mudah. Karier melejit, circle pertemanan meluas, dan masih banyak lagi. Tak sedikit, manusia yang berusaha untuk selalu mewujudkan hal demikian itu. Hingga terkadang, mereka rela meninggalkan singgasana nyaman, tempat dimana biasanya ia duduk dan berdiri sebagai representasi diri sendiri , hanya untuk mencoba menduduki singgasana manusia lain. Penjajah? Bukan... mereka tidak bertujuan seperti itu. Lalu apa? Mereka hanya sedang berikhtiar agar dapat terlihat. Mereka tidak memiliki ide dengan apa adanya mereka sendiri. Mereka hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain sebagai orang lain pula. Meng-iyakan apapun yang menurutnya mampu menaikkan nilai diri. Meng-iyakan berbagai upaya sebagai bentuk validasi diri.Â
"urip iku pancen wang-sinawang" kata Mbah KakungÂ
Hidup itu adalah perihal bagaimana kita melihat makna kehidupan it sendiri.Â
Semua-semua itu semu. Membahagiakan tanpa tau makna bahagia. Atau mungkin sudah tidak ada batas antara bahagia dan tidak bahagia ? . Memaksa hati dan birai tersenyum agar lahir senyum-senyum lain disekitarnya.Â
Sambil membaca coretan ini,mari kita sadari sejenak saja. Bernapas, lepas, bernapas. Tanpa mengontrolnya. Bukankah bernafas saja sudah enak ?
 Sebenarnya apa yang kita cari ?Â
Sebagian manusia, mungkin sadar bahwa itu hanya pilihan. Berpura-pura atau mati di pertempuran.
Sebagian lainnya, hanya mengalir saja. Membiarkan fatamorgana itu merasuki sisi diri yang sebenar-benarnya. Hingga sampai pada titik , dimana mereka tidak bisa kembali ke singgasananya sendiri. Golongan ini terbentur dan terbentuk oleh keadaan maupun lingkungan.