Mohon tunggu...
Aji Septiaji
Aji Septiaji Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Berbagi kebaikan melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menerawang Kembali Rekaman Peristiwa Zaman Jepang dari Sastrawan Angkatan '45

27 Juli 2014   13:39 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:03 965
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Realitas Sosial Idrus

dalam Kumpulan Cerpen

“Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma”

(Suatu Pendekatan Sosiologi Sastra)

Oleh. Aji Septiaji, S.Pd.

Pendahuluan

Sastra dalam dekade terakhir ini masih menjadi primadona di kalangan penikmat literasi (melek wacana). Betapa tidak, sastra mampu menyuguhkan daya pikatnya sebagai pembeda dengan karya tulis lain yaitu imajinatif, memunculkan dimensi hayali bagi pembaca, meretas kisah dari berbagai peristiwa dan konflik, dan menyerap pesan-pesan sarat makna dari para pelaku atau tokoh.

Damono (1978:1) mengungkapkan bahwa sastra merupakan gambaran kehidupan. Dalam hal ini, kehidupan antar masyarakat, antara masyarakat dengan individu, antar manusia, dan antar peristiwa yang merupakan pantulan hubungan individu dengan lingkungan, dan individu dengan masyarakatnya. Dengan demikian sastra dapat merefleksikan kehidupan masyarakat.

Sastra akan selalu berhubungan dengan kehidupan terutama aspek yang menghidupinya yaitu manusia (masyarakat). Kedekatan sastra dengan masyarakat tidak lain sebagai sumber ide yang dapat menginspirasi kehidupan. Jika dipadankan dengan disiplin ilmu mengenai manusia (masyarakat) maka sastra berdampingan dengan sosiologi.

Sosiologi berasal dari kata Latin Socius yang berarti kawan atau masyarakat, dan kata Yunani Logos yang berarti ilmu. Sosiologi adalah ilmu mengenai masyarakat. Sedangkan sastra terbentuk dari bahasa Sansekerta Susastra yaitu Su yang artinya indah, baik. Sas artinya aturan atau nasihat, dan Tra artinya alat. Sastra berarti alat untuk menyampaikan aturan, ajaran, nasihat dengan menggunakan bahasa atau hal-hal yang indah dan baik.

Sosiologi sastra memandang karya sastra berhubungan dengan masyarakat. Sastra merupakan hasil cipta seorang pengarang dengan menggunakan manusia dan sekitarnya (masyarakat) sebagai sarana untuk mengungkapkan ide-ide. Antara sosiologi dan sastra memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat.

Menurut Ratna (2003:2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain: 1) Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya; 2) Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung didalamnya; 3) Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi; 4) Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat, dan 5) Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdepedensi antara sastra dengan masyarakat.

Hubungan antara sosiologi dan sastra juga dikemukakan oleh Damono (1978:6) bahwa sosiologi adalah telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Selanjutnya, Damono (1978:7) mengungkapkan bahwa sosiologi mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung dan bagaimana ia tetap ada.

Sastra dan sosial sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan, melalui media yaitu bahasa baik lisan dan tulisan sastra bisa menginspirasi siapa pun, memahami keanekaragaman karakter yang ada di lingkungan masyarakat, dan mengapresiasi berbagai kultur atau adat di setiap masyarakat.

Sebagai sebuah karya yang imajinatif, sastra mampu memunculkan berbagai permasalahan manusia, kemanusiaan, hidup, dan kehidupan di masyarakat. Seorang pengarang mengamati berbagai permasalahan yang ada kemudian mengungkapkan kembali dengan bahasa fiksi yang sesuai dengan pandangan dan kenyataannya. Sumardjo (2001:89) mengungkapkan bahwa sastra menyajikan pengalaman kehidupan. Karya sastra tidak bisa lepas dari masyarakat, karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat.

Melalui karya, sastra akan tetap memunculkan peristiwa-peristiwa yang ada di masyarakat, sebab dengan inilah sastra mampu memikat, menyatukan, dan menghadirkan berbagai masalah sosial di masyarakat.

Pembahasan

Realitas sosial yang dimunculkan pengarang yaitu Idrus dalam Kumpulan Cerpen “Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma” ini ialah tentang permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat yaitu pada zaman Jepang sampai sesudah 17 Agustus 1945. Dengan pemunculan-pemunculan masalah yang ada kita seolah diantarkan kembali pada rekaman peristiwa dan lakon sejarah masa lampau sebelum dan sesudah negeri ini merdeka. Cerita Pendek ini terbagi ke dalam tiga bagian yaitu “Zaman Jepang”, “Corat-coret di bawah tanah”, dan “Sesudah 17 Agustus 1945”. Berikut permasalahan sosial yang terdapat dalam setiap cerita.

Zaman Jepang

1)Ave Maria

Realitas sosial yang terdapat dalam cerpen ini ialah pengakuan seorang istri dari Zulbahri yaitu Wartini yang mencintai kedua laki-laki yaitu Zulbahri (suaminya) dan Syamsu (Adik Zulbahri).

Zulbahri dan Wartini merupakan pasangan suami istri. Namun, ketika Syamsu hadir diantara keduanya, rumah tangga mereka bercerai-berai. Sebelumnya Zulbahri sudah merasa khawatir akan kedatangan Syamsu dirumahnya. Zulbahri khawatir jika benih-benih cinta diantara mereka tumbuh kembali. Dengan penjelasan Wartini yang penuh keyakinan, ia menjelaskan kepada Zulbahri bahwa ia hanya mencintai Zulbahri, sedangkan Syamsu hanyalah cinta monyetnya ketika masih kecil.

Namun, penjelasan Wartini berlainan dengan hatinya ketika bercakap dengan Syam di sebuah ruangan sambil bermain musik bersama, memainkan lagu berjudul Ave Maria karangan Gounod. Sebuah lagu yang dulu pernah mereka mainkan bersama. Dari keakraban tersebut benih-benih perasaan Wartini mulai timbul kepada Syam melalui kenangan-kenangan masa silam yang diungkapkan kembali. Akhirnya wartini dengan berani mengungkapkan perasaannya kepada Syam. Hal ini tercermin pada kutipan berikut

“Syam, dapatkah seorang perempuan mencintai dua orang laki-laki sekaligus?”

“Tidak, Tini. Hanya cinta seorang Ibu kepada anak-anaknya yang dapat seperti itu.”

Zulbahri dengan rela melepaskan Wartini untuk kembali dan bahagia dengan Syam. Ia memilih untuk mengabdi pada tanah air dengan bergabung dengan Heiho, tentara bentukan Jepang.

Realitas yang tampak dalam cerpen tersebut ialah keberanian seorang wanita yang mencintai dua laki-laki yang masih sedarah dengan suaminya. Pertemuan dan percakapan menjadi sebuah jalan untuk bisa menjalin kembali perasaan yang pernah terputus.

2)Kejahatan Membalas Dendam (Sebuah Drama)

Karya Idrus yang satu ini lebihdikategorikan sebagai sebuah drama, sebab terdapat percakapan langsung atau dialog antar tokoh. Namun, tidak kehilangan realitas kesosialannya.

Realitas sosial yang tampak dari drama ini ialah ketidaksetujuan seorang ayah (Suksoro) kepada Ishak untuk meminang Satilawati (anak perempuan Suksoro). Hal ini terjadi karena Suksoro dan Ishak sama-sama bergiat di bidang kepenulisan namun berbeda golongan, baru dan lama. Hingga menimbulkan pemikiran yang berbeda dalam sebuah karya tulis. Salah satu penyebab ialah ketika Ishak yang penulis muda mencoba menghadirkan sebuah kebaruan dalam dunia kesusasteraan Indonesia melalui karya-karyanya. Namun ayahnya yang penulis senior/lama tidak menyetujui pemikiran ishak, kemudian menggugat karya ishak sebagai karya yang tidak bermutu. Ishak yang merasa tertekan pergi ke desa meninggalkan Satilawati. Di lain sisi, Kartilawati (dokter, teman Ishak) ternyata menaruh hati pada Satilawati, dan hal ini menjadi peluang untuk mendapatkan cintanya.

Namun dengan kegigihannya, Ishak pun menjadi lebih giat bekerja ketika di desa. Ishak pun akhirnya direstui ayahnya karena bantuan dari sang nenek Satilawati. Sedangkan Kartili menjadi gila karena tekanan batin yang dialaminya.

Melalui drama ini Idrus ingin menggambarkan pertentangan antara golongan tua dan muda selalu dimenangkan oleh golongan muda. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.

“Dan dunia selalu membuktikan, bahwa pemudalah yang selalu menang dalam perjuangannya dengan angkatan lama.”(hlm. 71)

Kutipan di atas merupakan perkataan Ishak kepada ayah Satilawati. Ia menyadarkan bahwa angakatan baru hanya membutuhkan penghargaan dari angkatan lama. Angkatan baru tidak pernah memaksa angkatan lama untuk menulis dengan gaya baru. Masing-masing memiliki kewajibannya. Angkatan lama mempertahankan tradisi, sedangkan angkatan baru mencari perubahan yang baru.

Corat-coret di Bawah Tanah

3)Kota-Harmoni

Realitas sosial yang tampak dalam cerpen ini ialah tentang keadaan di dalam sebuah trem (kereta yang dijalankan oleh tenaga listrik; atau lokomotif kecil) yang penuh sesak. Terdapat berbagai macam etnik, ras, dan status sosial. Trem ini merupakan trem kelas satu. Sesekali terjadi perdebatan antara orang Tionghoa yang merasa tersinggung oleh ucapan nona Belanda yang mengatainya bau terasi dan kelas satu bukanlah tempat yang pantas bagi orang Tionghoa. Terjadi pula perdebatan antara kondektur dengan seorang perempuan tua miskin yang tidak mau membayar ongkos trem tapi masuk gerbong trem kelas satu. Alasannya karena pada gerbong biasa sudah terlalu penuh sesak. Perempuan tua berpindah ke kelas dua sambil mengomel.

Selama perjalanan dari Kota ke Harmoni banyak yang mengomel dengan fasilitas dan perlakuan kondektur yang semena-mena bahkan menganggap penumpang kelas dua seperti binatang. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.

Seorang perempuan muda, Belanda Indo, mengambil saputangannya, kecil sebagai daun pembungkus lemper, diirupnya udara di saputangannya, lalu katanya, “Siapa lagi yang membawa terasi ke atas trem. Tidak tahu aturan, ini kan kelas satu” (hlm. 76).

Kemudian pada percakapan kedua perdebatan antara kondektur dan perempuan tua miskin.

Seorang perempuan tua, bungkuk dan kurus, bajunya berlubang seperti disengaja melubangkannya, seperti renda seprai, dimarahi kondektur, “Ini kan kelas satu, mengapa di sini. Ayo ke belakang. Kalau tidak, bayar lagi.”

Perempuan tua itu beriba-iba, meminta supaya ia dibolehkan di kelas satu saja, “Terlalu sempit di sana, Tuan. Saya tidak bisa.” Ya, kalau tidak bisa, bayarlagi” (hlm. 76-77).

Pada percakapan ketiga yaitu perlakuan kondektur yang semena-mena.

Kondektur berjalan di muka perempuan tua itu di kelas dua.

“Karcis yang baru, karcis yang baru.”

Perempuan tua itu melihat saja kepada kondektur. Di belakang kondektur, bibirnya ditariknya ke kanan seperti monyet, dan katanya, “Lihat monyet itu!” (hlm. 78-79).

Realitas yang terjadi merupakan gambaran sehari-hari ketika di satu tempat disesaki oleh beberapa orang yang berbeda status sosial. Cerpen ini merupakan pascakolonialisme yaitu periode berakhirnya masa kolonialisasi di seluruh dunia. Segala yang terjadi akan berkaitan dengan pengalaman kolonial (peperangan atau penjajahan). Namun, pada konteks tertentu colonial tidak dipandang sebagai peperangan atau penjajahan, melainkan dengan hal-hal yang dianggap sepele seperti korban perasaan antarindividu.

4)Jawa Baru

Realitas sosial yang terdapat dalam cerpen ini ialah tentang kelaparan dan kesengsaraan yang melanda orang-orang Indonesia. Semua bahan-bahan pokok sangat mahal, orang Indonesia hanya mendapat seperlima liter beras sehari. Namun orang-orang Nippon mendapat jatah lebih banyak lima liter sehari. Kemudian di jalanan orang-orang banyak yang kelaparan lalu mati. Pemerintah tetap bungkam, media massa hanya memberitahukan tentang perang dan perang, padahal mereka tahu di jalanan rakyat Indonesia sedang kelaparan, di Jawa orang-orang sengsara, mereka mati kelaparan.

Di cerpen ini Idrus berhasil memotret kemelaratan semasa pendudukan Jepang. Beras-beras yang diangkut dari pulau Jawa ke Tokyo membuat rakyat kesulitan pangan. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

Setiap pagi kelihatan di Noordwijk anak-anak miskin berbaris ke rumahnya dari gereja. Muka mereka itu pucat, badannya kurus… kurang makan (hlm. 89).

Tanpa melihat keadaan rakyat Indonesia, Jawa Hokaido mengadakan rapat tentang penambahan pasokan beras. Sementara orang-orang Jawa hanya sabar menerima dengan lapang dada.

5)Pasar Malam Zaman Jepang

Realitas sosial yang terdapat dalam cerpen ini ialah dampak kemelaratan yang digambarkan pada cerpen Jawa Baru, pada akhirnya membuat rakyat mencari peruntungan dari bermain judi di pasar malam.

Di pasar malam itu ada tempat terang dan tempat gelap. Seperti tempat gelap disediakan pula untuk penonton-penonton. Di rumah makan terdengar bunyi musik. Di ruang main rolet orang-orang berjam-jam duduk, tak ada yang ribut (hlm. 87-88).

Orang-orang berbondong-bondong ke pasar malam jika bantuan Sendenbu, karena apapun bantuan Sendenbu selalu menarik, mereka berdesakan membeli karcis. Seperti Ghandi, ia main rolet hingga menjual semua pakaiannya hingga ia setengah telanjang. Namun, pada akhirnya ia kalah. Beberapa hari kemudian ia gantung diri.

6)Sanyo

Realitas sosial yang terdapat dalam cerpen ini ialah tentang keterasingan rakyat Indonesia di negeri sendiri. Kadir seorang tukang kacang goreng ketika mendengarkan radio terdapat kata “Sanyo”. Istilah tersebut menjadi kata yang sering diucapkannya. Suatu ketika ia bertemu dengan seorang laki-laki yang hendak membeli kacang, kemudian menanyakan arti kata “Sanyo” dan sedikit bergurau dengan kata tersebut.

“Tuan, boleh saya bertanya sedikit?”

Laki-laki itu tercengang dan menjawab “Boleh.”

“Yang hendak saya tanyakan ini, Tuan. Apa Sanyo itu tukang catut?”

Laki-laki itu terkejut dan marah katanya, “Apa katamu? Engkau jangan menghina Dai Nippon, ya. Engkau tahu siapa ini?. Ayo mari ke kantor polisi. Jahanam.” (hlm. 93)

Ternyata ditanggapi dengan serius oleh laki-laki tersebut. Ditangkaplah tukang kacang goreng itu karena dituduh mata-mata dan menghina Dai Nippon.

7)Fujinkai

Realitas sosial yang terdapat dalam cerpen ini masih mengenai keterasingan rakyat Indonesia di negeri sendiri, seolah bukan hidup di Indonesia. Dalam cerpen ini orang Indonesia sangat takut kepada orang Jepang bahkan ibu-ibu disuruhnya untuk mengelu-elukan nama Jepang dan harus memberikan selamat karena Jepang telah berhasil menggempur Hawai. Untuk memberikan selamat itu seorang ibu-ibu yang hadir pada rapat yang dipimpin Nyonya Sastra, ternyata harus menyumbangkan uangnya untuk membuat kue kemudian kue itu diserahkan kepada orang Jepang untuk merayakan perang Nippon dengan Amerika.

8)Oh … Oh … Oh!

Realitas sosial yang terdapat dalam cerpen ini ialah situasi dan kondisi perjalan dalam kereta api antara Sukabumi-Jakarta. Kereta api berangkat dari Sukabumi menuju Jakarta, orang-orang di kelas dua dapat duduk dengan tenang, Namun orang-orang di kelas tiga dan empat berdesak-desakkan, kereta berhenti di sebuah stasiun kecil. Beberapa anak muda tak berpakaian masuk kereta, mereka Keibodan yang memeriksa orang-orang yang membawa beras. Orang-orang yang membawa beras dipukuli dan diambil berasnya, sebungkus beras tidak jadi di ambil karena milik agen polisi. Kemudian anak-anak muda tersebut pergi. Agen polisi tersebut meminta kepada perempuan yang diselamatkan tadi agar berasnya aman hingga di Jakarta. Namun sesampai di Jakarta beras tersebut di bawa lari oleh agen polisi. Perempuan muda itu menangis hingga air matanya kering.

Cerpen ini memiliki keprihatinan yang mendalam dari setiap tokoh. Bahkan kematian seorang penumpang berkaki sebelah yang terjatuh dari atas kereta dianggap peristiwa biasa saja. Kemudian ada penumpang orang Indonesia yang menanggapi dengan dingin.

“Aku lebih senang melihat ia mati begitu daripada melihatnya mati di pinggir kali Ciliwung di Jakarta nanti” (hlm. 103).

9)Heiho

Realitas sosial yang terdapat dalam cerpen ini ialah pengharapan seorang laki-laki yang menjadi anggota Heiho agar bisa membela Tanah Air. Namun, oleh istrinya ia malah dituduh sebagai antek penjajah. Penggambaran kondisi lelaki lugu yang ironis. Di akhir cerita ia dikisahkan tewas dalam sebuah peperangan. Sedangkan sang istri menikah lagi dengan laki-laki lain.

Cerpen ini mengisahkan seorang pria yang bodoh dan ngotot ingin masuk Heiho dan membuang semuanya termasuk istri, anak, pekerjaan dan kedamaiannya. Namun bayangan dia akan Heiho berubah karena hanya dijadikan budak bagi para tentara Jepang, diberi baju yang tidak layak sepatu yang sangat kekecilan dan kalau perang di tempatkan di barisan paling depan. Namun setelah sadar dia terlambat untuk mundur dari Heiho, sudah kepalang tanggung karena kalau mundur sekarang maka kepalanya akan putus dari tempatnya maka dengan terpaksa dia membuang segalanya dan menjadi Heiho, 8 bulan kemudian dia meninggal untuk Heiho.

Sesudah 17 Agustus 1945

10)Kisah Sebuah Celana Pendek

Realitas sosial yang tampak pada cerpen ini ialah tentang lingkungan sosial terhadap orang kecil yang hidup pada waktu itu. Dikisahkan rakyat kecil (Kusno dan ayahnya) yang hidup dengan berbagai keterbatasan dan kesengsaraan. Dalam pendidikan, mereka hanya sampai lulus sekolah rakyat. Mereka tidak bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi membuat mereka tidak bisa memperoleh pekerjaan yang baik. Hak hidup lebih baik untuk orang kecil terabaikan. Masyarakat dalam cerpen ini digambarkan hanya bisa menerima dengan pasrah. Tidak memiliki sifat melawan, meskipun hidup di tanah airnya.

Jepang yang disambut dan begitu diharapkan untuk membawa perubahan ke hal lebih baik justru membawa ke hal lebih buruk. Sebelum Jepang datang, walau susah payah (ayah kusno) masih bisa membeli celana, tetapi setelah Jepang datang jangankan untuk membeli celana makan pun susah. Masyarakat hidup lebih menderita lagi.

Situasi tersebut merupakan gambaran dari keadaan masyarakat pada waktu itu, ketika sastra diciptakan tahun 40-an. Pemerintah Belanda membatasi pendidikan untuk orang-orang pribumi. Hanya bisa lulus sekolah sampai sekolah rakyat. Dampaknya ialah masyarakat hidup tidak begitu pintar, hanya bisa baca tulis saja. Kaum bangsawan lah yang boleh bersekolah lebih tinggi. Setelah Jepang masuk tahun 1942 mereka berharap kehidupan akan lebih baik, tetapi ternyata menjadi lebih buruk. Jepang lebih kejam daripada Belanda. Banyak orang kelaparan, tidak memiliki pakaian, penyakit menyebar, tidak ada keberanian, dan mereka hanya bisa bertahan.

Dalam cerpen ini Idrus mencoba mengangkat situasi lingkungan orang kecil, dengan budaya pasrah dan menerima apa adanya. Masyarakat kecil yang tidak bisa melawan penjajah, dan hanya berusaha bertahan.

11)Surabaya (Sebuah Novelet)

Setelah adanya sebuah drama dalam kumpulan cerpen ini, ada pula sebuah novelet yang Idrus hadirkan. Jalan peristiwa yang runtut dan penokohan yang begitu apik menjadi keunggulannya, namun tetap masih terdapat permasalahan sosial yang perlu dikemukakan.

Realitas sosial yang terdapat dalam novelet ini ialah tentang keadaan saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI dari tentara sekutu di Surabaya yang dikenal dengan Pertempuran 10 November 1945. Keadaan yang digambarkan ialah pelarian-pelarian kehilangan rumah, mengungsi, menjadi gila; tentara bambu runcing melawan tentara baja; tentara RI adalah cowboy dan tentara sekutu adalah bandit; pengeroyokan dan pembunuhan pengkhianat oleh orang-orang yang sudah geram, dan sebagainya.

Pertempuran 10 November 1945 yang cukup di soroti Idrus ialah mengenai persenjataan tentara sekutu yang dianalogikannya sebagai Tuhan yang baru. Kasdi (1986:256) dalam Pertempuran 10 November 1945 mendeskripsikan bahwa sekutu membuat Surabaya menjadi lautan api dengan senjata-senjatanya. Surabaya di gempur dengan tembakan-tembakan meriam dan kapal perang penghancur, disusul dengan bombardemen dan tembakan dari udara. Selain itu, ledakan senjata api terjadi terus menerus.

Itulah alasan dari munculnya Tuhan baru. Senjata memberikan kekuuatan yang mempu menciptakan kehancuran dan kematian sehingga sasaran senjatalah yang menjadi dan penentu hidup matinya pejuang dan masyarakat Surabaya pada saat itu.

12)Jalan Lain Ke Roma

Realitas sosial yang terdapat pada cerpen terakhir ini ialah tentang lingkungan sosial yang terjadi pada seorang laki-laki bernama open yang memiliki riwayat tersendiri dalam keluarga. Dulu, ayah dan ibunya sempat bertanya pada dukun perihal nama yang tepat. Ada beberapa nama yang hendak mereka beri. Salah satunya nama Ali. Namun mereka ingat bahwa Ali adalah nama anak tetangga yang sering berjudi dan mengadu ayam. Mereka tidak mau anaknya seperti itu, dan tidak memberi nama Ali pada anaknya.

Pada suatu hari, ayahnya bermimpi tentang kota New York. Entah kenapa ia seperti mendengar kata dari bahasa Belanda yaitu openhartig yang memiliki arti terus terang atau jujur. Ketika sang ayah menceritakan hal itu pada istrinya, ia merasa senang dan berpikir bahwa itu adalah petunjuk dari Tuhan tentang perkara pemberian nama anak. Berdasarkan riwayat namanya, Open berjanji akan mengabulkan impian ibunya bahwa ia akan selalu menjadi orang yang selalu berterus terang dalam segala hal.

Suatu hari Open menjadi seorang guru. Karena keterusterangannya, Open terlalu polos menceritakan pengalaman hidupnya pada semua murid, termasuk pertengkaran istrinya yaitu ketika istrinya membawa golok sambil mengejarnya.

Setelah penceritaan itu, murid-murid Open sering meledek bahwa Open sebagai suami yang tidak berani terhadap istri. Bahkan murid-murid menyebut Open dengan julukan 'guru golok' yang kemudian diplesetkan menjadi 'guru goblok'. Makin lama Open tidak tahan dengan perilaku muridnya. Ia pun menghukum salah satu murid dengan memukulnya. Open pun dikeluarkan dari sekolah.

Setelah ia dikeluarkan dari sekolah, beberapa peristiwa yang dialami Open begitu memperihatinkan. Mulai dari keinginannya untuk menjadi seorang mualim, meninggalkan istrinya pergi ke desa karena dilatarbelakangi perkelahian, perkelahian terjadi karena Open sudah tidak mengajar kembali di sekolah. Kemudian Open menikah lagi dengan gadis desa bernama Surtiah. Dalam perjalanannya Open belajar banyak terutama menulis dari seorang mualim yang ditemuinya di kota. Ia pun serius menulis tentang bangsa Indonesia yang berada dalam kekuasaan Jepang.

Ternyata tulisan-tulisan Open sempat membawa ia masuk dalam penjara. Di penjara itulah Open sadar akan arti kemerdekaan. Ketika ia di penjara, ia merasa kehilangan kemerdekaannya. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Open mulai dibebaskan.

Dalam hati ia berjanji tidak akan membuat tulisan-tulisan seperti itu. Selain menulis, ia mencoba berbagai pekerjaan lain, diantaranya menjadi seorang penjahit. Ia mulai merasakan semuanya telah berjalan dengan stabil.

Idrus dalam cerpen ini mengungkapkan tentang lika-liku kehidupan manusia dalam mencari jati diri yang sesungguhnya. Cerpen ini tidak jauh berbeda dengan cerpen pertama yaitu 'Ave Maria' sebab masih bercerita tentang hubungan seorang manusia dengan sesamanya.

Simpulan

Idrus mencoba menunjukkan realitas sosial yang telah terjadi pada masa Jepang sebelum dan sesudah negeri ini menapaki kemerdakaan. Cerpen ini memuat kisah-kisah zaman revolusi, Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma terbagi menjadi tiga bagian yaitu Zaman Jepang, Corat-coret di Bawah Tanah, dan Sesudah 17 Agustus 1945. Ketiga bagian tersebut memiliki pengaruh yang mampu memutar kembali rekaman peristiwa-peristiwa sosial pada masa lalu.

Setiap cerita yang dihadirkan Idrus merupakan potret kehidupan dan gambaran semangat pada zamannya. Idrus sebagai sastrawan adalah saksi mata dari setiap peristiwa dalam dua belas cerita di buku ini. Dalam melaporkan peristiwa tersebut, Idrus tidak berdiri di luar sejarah namun ia menjadi bagian dari sejarah tersebut.

Daftar Pustaka

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi sastra sebuah pengantar ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Idrus. 2010. Dari ave maria ke jalan lain ke roma. Jakarta: Balai Pustaka.

Kasdi, dkk. 1986. Pertempuran 10 November 1945: Citra Kepahlawanan Bangsa Indonesia di Surabaya. Surabaya: Panitia Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan 10 November 2010.

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma sosiologi sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumardjo, Jakob. 2001. Catatan kecil tentang menulis cerpen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun