Fira duduk dan mengeluarkan laptopnya. “Bisa dibilang, aku sedang berusaha mengejar ketinggalan. Sudah ada beberapa bab, meskipun masih banyak yang perlu dirapikan.”
Ghean mengangguk dengan penuh perhatian. “Bagus! Aku ingin sekali mendengarnya.”
Fira merasakan semangatnya menyala kembali. “Sebenarnya, aku mulai menulis tentang dua orang asing yang bertemu di kafe. Terinspirasi dari kita, tentu saja!”
Ghean tampak terkejut dan tersenyum lebar. “Wow, aku harus berbangga. Mungkin aku bisa jadi karakter favorit di novel itu?”
Fira tertawa. “Kita lihat saja nanti. Tapi aku harap karakternya lebih rapi dari dirimu yang asli!”
Mereka terus bercanda dan berbagi cerita, dan suasana kafe terasa hangat dan penuh tawa. Fira mendapati dirinya semakin nyaman dengan Ghean. Percakapan yang dulunya ringan kini terasa lebih dalam, dan ia bisa merasakan koneksi yang semakin kuat antara mereka. Setiap kali Ghean tertawa, hatinya bergetar. Ada sesuatu dalam diri Ghean yang membuatnya merasa diterima, seperti sahabat yang sudah lama hilang dan kini kembali.
Selama pertemuan itu, Fira merasa terinspirasi lebih dari sebelumnya. Ghean bukan hanya memberikan dukungan, tetapi juga menjadi pemicu semangatnya untuk terus berkarya. Ia mulai melihat masa depan naskahnya dengan lebih optimis.
Setelah beberapa jam berbincang, mereka menyadari waktu sudah larut. Fira dan Ghean beranjak dari meja, dan saat mereka melangkah keluar kafe, suasana malam yang tenang menyelimuti mereka.
“Jadi, kapan kita bertemu lagi?” tanya Ghean sambil menatap Fira dengan penuh harapan.
“Bagaimana kalau minggu depan? Aku ingin membagikan beberapa bab yang sudah kutulis,” jawab Fira, merasakan harapan baru tumbuh dalam dirinya.
“Deal!” Ghean menjawab dengan semangat. “Aku tidak sabar untuk membacanya.”