Tidak ada manusia yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah. Manusia tetaplah punya dua sisi dalam sikap dan perilaku, juga karakter lahiriahnya.
Ada sisi baik, ada juga sisi buruknya, begitu juga dengan seorang Ahok. Melihat Ahok hanya dari sisi baiknya saja juga tidak elok, karena Ahok hanya manusia seperti pada umumnya, yang juga mempunyai sisi buruk.
Pendukung Ahok haruslah realistis kalau ada sebagian besar masyarakat belum bisa terima kehadirannya. Sebaliknya, pembenci Ahok juga tidak perlu membenci secara membabi-buta, seakan-akan Ahok tidak punya hak untuk mendapatkan perlakuan seperti manusia pada umumnya.
Tidak ada yang meragukan ketegasan dan integritas seorang Ahok, yang tidak mengenal kompromi untuk menegakkan kebenaran. Sehingga sikapnya tersebut membuat orang-orang yang terbiasa nyaman dengan ketidakbenaran, merasa terganggu oleh Ahok.
Yang pada akhirnya, setiap celah dari sikap dan tindak-tanduk Ahok, yang bisa dijadikan sebuah kesalahan dimanfaatkan untuk menjatuhkan Ahok. Akibatnya, Ahok pun harus menghadapi tuduhan penistaan agama, yang akhirnya mengirim dia ke penjara.
Setelah menjalani sanksi hukum, tidak berarti keluar dari penjara bisa kembali diterima, karena Ahok dianggap seperti 'monster' yang berbahaya, bagi orang-orang yang tidak ingin adanya perubahan, yang ingin terus nyaman dengan ketidakbenaran.
Bagi para pendukung dan pengagum Ahok, dia adalah 'superhero' yang berani mengubah keadaan. Tapi bagi pembenci dan musuh Ahok, dia tetap saja dianggap sebagai monster yange menakutkan dan menjijikkan.
Karakter Ahok yang temperamental, dengan ucapan-ucapannya yang kasar terhadap orang-orang yang ingin mencuri uang rakyat, begitu melekat dalam ingatan para pembencinya. Inilah yang selalu dijadikan senjata untuk menjatuhkan Ahok.
Padahal kalau menghadapi rakyat kecil dan orang-orang yang memang benar dalam bekerja, Ahok dikenal sangat lembut dan penuh perhatian. Lihat saja, selama masih dalam tahanan, dia tetap terus membantu masyarakat yang masih membutuhkan bantuannya.
Sebaliknya, ketegasan sikap terhadap hal-hal yang tidak benar, dan keseriusannya dalam menegakkan kebenaran, juga sangat melekat dalam ingatan para pendukung dan pengagumnya. Sehingga Ahok tetaplah dianggap sebagai seorang superhero bagi mereka.
Padahal, Ahok sedang berusaha mengubah citra negatifnya dimasa lalu. Selepas dari tahanan Mako Brimob, Basuki Tjahaya Purnama tidak ingin lagi dipanggil dengan 'Ahok', dia ingin dipanggil dengan 'BTP' saja.
Mungkin dengan dipanggil BTP dia tidak lagi melekat sebagai Ahok, tapi persoalannya, pendukungnya lebih nyaman memanggil namanya dengan Ahok ketimbang BTP.
Alangkah bijaknya kalau kita membenci atau menyukai seseorang tetap dengan rasional dan realistis. Bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain, betapa sulitnya hidup ditengah-tengah kebencian tanpa henti.
Berbagai tanggapan mengemuka di saat Ahok diberikan peluang untuk menduduki jabatan Salah satu Direksi BUMN. Ada yang pro dan ada juga yang kontra. Begitu sempit dunia ini bagi seorang Ahok.
Padahal di luar sana, seorang Nelson Mandela yang Mantan Narapidana, bisa menjadi Presiden di Afrika Selatan. Betapa berjiwa besarnya masyarakat diluar sana. Sementara kita disini, dengan bangga bisa terus memelihara kebencian atas sesama.
Lihatlah teladan yang diberikan Prabowo Subianto dan Joko Widodo, yang mengedepankan Persatuan dan kesatuan bangsa diatas kepentingan mereka. Padahal keduanya pernah berseteru hebat dalam dua Pilpres.
Sebaliknya, pendukung mereka berdua, masih terus bersiteru tidak puguh-lagu, tanpa kejelasan apa yang dijadikan seteru. Terus bergesekan di media sosial secara banal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H