Mohon tunggu...
Ajinatha
Ajinatha Mohon Tunggu... Freelancer - Professional

Nothing

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Formalitas yang di Formalinkan

11 November 2019   07:22 Diperbarui: 11 November 2019   08:22 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saking susahnya mau bilang kita ini terlalu menyukai hal-hal yang bersifat formalitas, basa-basi, remeh-temeh, dan yang seperti itu di pertahankan, diawetkan, sehingga saya bilang di FORMALIN-kan, atas nama budaya Timur, atas nama adat juga budaya kesantunan dan sebagainya.

Itulah yang membuat bangsa ini banyak membuang waktu untuk hal yang tidak penting, sementara bangsa lain bergerak cepat mengejar ketinggalan, meninggalkan hal-hal yang dianggap menghambat.

Kita masih sibuk mempersoalkan sesuatu yang hanya bersifat formalitas, bahkan dalam urusan birokrasi pun hal seperti itu diterapkan. Urusan yang harusnya bisa cepat, jadi dilambatkan, hanya karena birokratnya merasa tidak disapa penuh basa-basi.

Itulah akhirnya, urusan yang seharusnya bisa diselesaikan cuma dalam waktu satu jam, menjadi lima jam, urusan yang harusnya bisa selesai satu hari, baru bisa diselesaikan dalam satu Minggu.

Kadang cuma persoalan sepele, soal sikap yang kurang suka ramah-tamah, urusan pun bisa dihambat, karena para birokratnya merasa tidak dihormati dan disapa dengan segala puja-puji.

Capek gak sih hidup dengan segala bentuk formalitas seperti itu.? Kalau saya sih orang yang berpikir praktis ya capek menghadapi segala bentuk formalitas seperti itu.

Mungkin bagi yang gila birokrasi sangat menikmatinya, karena dari proses birokrasi tersebut dia merasakan, menikmati sebuah kekuasaan, dimana dia merasa sebagai orang penting, dan pantas dihormati.

Persoalan ucapan salam pembuka pidato saja dipermasalahkan, coba apa sih pentingnya. Buka aja pidato dengan ucapan yang simpel dan tepat dengan situasi waktu dan suasananya, tidak dipanjang-panjangin dengan segala macam basa-basi yang tidak dimengerti audience.

Buat apa coba menghabiskan waktu seperti itu, itukan bukan Fardu A'in, cuma Fardu kifayah. Kok hobi yang bertele-tele, bangga dengan kefasihan yang tidak difahami orang lain.

Bahkan, cuma untuk mengucapkan salam diawal pidato saja kita lebih Arab dari orang Arab itu sendiri. Tidak lagi melihat siapa audience-nya, yang penting agar semua tahu bahwa yang pidato fasih berbahasa Arab, meskipun audience tidak mengerti apa Yang diucapkan.

Sekarang salam pidato untuk semua agama pun dilarang. Daripada ribet dengan segala aturan yang gak penting seperti itu, kenapa tidak disederhanakan saja dengan ucapan selamat pagi, selamat siang, atau selamat malam, buat apa menghabiskan waktu cuma untuk sebuah salam yang hanya formalitas.

Ntar kalau dibilang yang begitu bukanlah sesuatu yang gak penting, malah dicap Liberal, terlalu radikal cara berpikirnya. Pidato itu bukan dinilai berapa panjang dan lamanya, tapi esensi dan subastansi dari apa yang disampaikan bisa difahami audience atau gak.

Kita memang harus meniru negara-negara yang sudah maju, terutama carae mereka berpikir dan bertindak untuk maju. Cuma mengurangi ucapan salam saja tidaklah meninggalkan adat dan budaya kok.

Perlu dipertanyakan, apakah pembukaan pidato dengan berpanjang-panjang, dan disusupkan bahasa Arab itu bagian dari budaya kita.? Enggak kan, udah jelas-jelas itu bahasa Arab, bukan bahasa kita.

Hal-hal formalitas seperti itu tidak perlu "di formalin-kan", atau diawetkan, buat apa, cuma membuat kita menghabiskan waktu untuk hal yang tidak terlalu perlu. Tidak akan mengurangi nilai kita sebagai bangsa yange beradab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun