Masih menurut Hari, pencopotan atap hanya berlaku pada JPO yang tak menyatu dengan halte Trans Jakarta.
"Konsep kedua, kalau memang dari awal tertutup seperti sebelahnya (JPO setelahnya yang terhubung dengan halte Trans Jakarta), menghubungkan ke halte, itu tetap kanopinya ditutup, bukan dibuka. Mosok orang mau naik TJ basah kuyup?"
Pencopotan atap JPO juga bertujuan agar masyarakat bisa swafoto dengan pemandangan itu.
"Pengalaman lain lagi nih. Selain untuk pejalan kaki, juga untuk swafoto, ber-selfie ria. Instagrammable-lah," katanya.
Kalau melihat alasan diatas, orientasi dari pembukaan atap JPO lebih kepada pemenuhan aspek Estetika, meskipun nilai fungsionalnya terabaikan. Tapi memang perlu dilihat terlebih dahulu problem kedepannya.
Yang perlu diantisipasi kedepannya, disaat musim hujan, jelas "ojek payung" akan marak disekitar JPO, karena mereka menjadi fasilitas alternatif bagi penyeberang yang ingin melintasi JPO.
Namun juga perlu dipikirkan, dimusim hujan lantai JPO akan terasa licin, faktor keselamatan pengguna JPO juga mesti dipikirkan, terutama dibagian tangga turun-naiknya JPO.
Seperti dilansir Tempo.co, pengamat tata kota Nirwono Ikut menanggapi pencopotan atap JPO di jalan Sudirman, menurutnya Pemprov DKI Jakarta harus lebih mengutamakan fungsionalnya JPO ketimbang aspek estetikanya.
Fungsi JPO sudah seharusnya memfasilitasi pejalan kaki untuk nyaman berjalan bukan untuk menikmati pemandangan dan digunakan untuk berfoto. Fungsi utama JPO adalah untuk menyeberang bukan berswafoto.
"Sebaiknya JPO itu ada atapnya untuk menyesuaikan musim dan cuaca di Jakarta, sebentar lagi sudah masuk musim hujan, apa akan ada yang mau menyeberang Dengan JPO terbuka tersebut,?" kata Nirwono seperti dilansir Antara, Kamis 7 November 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H