Seharusnya tidak ada "desa Siluman" atau desa fiktif, seperti yang ditengarai Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. Negara ini bukanlah negara baru yang belum mempunyai lembaga pengelola sistem kependudukan dan pencatatan sipil (Dukcapil).
Anggaran yang sudah digelontorkan Pemerintah atas nama "Dana desa" jumlahnya sudah ratusan triliun rupiah, kok sekarang baru diketahui kalau ada dwsa penerima transferan dana tersebut "desa siluman", desa yang tidak ada penghuninya, namun ada dalam daftar penerima dana desa.
Inilah potret dari lemahnya pengawasan dan pengelolaan anggaran yang jumlahnya ratusan triliun rupiah. Tidak adanya koordinasi yang efektif antara pemerintah pusat dan daerah. Padahal bisa dilakukan invetarisasi terlebih dahulu desa yang berhak menerima transferan dana tersebut.
Direktur Eksekutif Lembaga untuk Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran (LETRAA), Yenny Sucipto menduga munculnya desa-desa baru tak berpenghuni yang menerima transferan dana desa disebabkan oleh tak efektifnya sistem evaluasi pengelolaan dana desa dan buruknya koordinasi antar kementerian/lembaga terkait.
"Ada sesuatu yang salah, ada sistem yang tidak berjalan," kata Yenny Sucipto, kepada BBC Indonesia.com (05/11).
"Di saat evaluasi tidak berjalan, di saat perencanaan buruk, ada kongkalikong pengawasan," imbuhnya.
Memang apa yang ditengarai, dengan munculnya desa fiktif tersebut dikarenakan adanya kelemahan pengawasan, dan ketidaktelitian dalam pengelolaan dana desa. Kelemahan inilah yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum di desa, yang melihat itu sebagai sebuah peluang untuk mendapatkan uang.
Kalau saja Kementerian Keuangan kerjasama dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan pencatatan sipil (Ditjen Dukcapil), tentunya hal semacam itu bisa diantisipasi.
Desa-desa yang sudah diinventarisir sebagai penerima dana desa, bisa dicek keberadaannya di Dukcapil, benar adanya atau tidak, fiktif atau tidak desa yang ada di Dalam daftar inventaris.
Menyangkut dana ratusan triliun, tapi pengelolaan dan pengawasannya tidak efektif, itu sama halnya dengan perbuatan yang sia-sia. Sementara sebagai sebuah negara, kita sendiri belumlah mandiri secara finansial.
Presiden saat pidato nota keuangan 2019 di Gedung DPR MPR, Kamis (16/8), mengungkapkan, akan mengucurkan Rp832,3 triliun atau hampir sepertiga dari RAPBN 2019 sebesar Rp2439,7 triliun ke transfer daerah dan dana desa, walau kebijakan itu rawan korupsi. Sumber
Artinya, presiden sendiri sudah memperkirakan bahwa dana tersebut rawan untuk dikorupsi. Tapi seharusnya itu menjadi 'sinyal' dari Presiden, bahwa dana tersebut harus diawasi oleh aparatur negara yang memiliki kewenangan dalam pengawasan anggaran.
Tujuan digelontorkannya anggaran dana desa itu untuk lebih berpihak pada desa tertinggal dan desa sangat tertinggal, yang mempunyai penduduk miskin tinggi. Seharusnya kalau dana ini sampai kepada yang berhak, maka efektivitas Dana desa bisa dirasakan manfaatnya.
Dalam periode 2014-2017, Indeks Kesenjangan Antar-Daerah menurun dari 0,759 menjadi 0,668, persentase persalinan yang ditangani oleh tenaga kesehatan meningkat dari 87,1% menjadi 93,3%. Serta akses rumah tangga terhadap sanitasi yang layak meningkat dari 61,1% menjadi 67,9%. Sumber
Secara manfaat, dana desa terbilang efektif dalam menurunkan tingkat kesenjangan Antar-Daerah, apa lagi kalau pengawasan dan pengelolaan dana desa tersebut lebih terkontrol, tentu manfaatnya bisa lebih dirasakan masyarakat.
Yang harus dicermati adalah sistem pengawasan dan pengelolaan dana desa tersebut. Uang ratusan triliun itu bukanlah jumlah yang sedikit, semua seharusnya sudah dalam perencanaan yang matang dalam hal pendistribusiannya.
Program Dana Desa sendiri sudah dilakukan sejak tahun 2015. Sejak saat itu hingga 2019, pemerintah mengklaim telah menggelontorkan Dana Desa sebesar Rp257 triliun. Dari tahun ke tahun, angkanya terus meningkat.
Dimulai dari Rp20,8 triliun pada tahun 2015, Rp46,9 triliun pada 2016, meningkat menjadi Rp60 triliun pada tahun 2017 dan 2018, hingga akhirnya menjadi Rp70 triliun pada tahun ini.
"Seharusnya (pada) tahun kedua, tahun ketiga, itu sudah harus terdeteksi (keberadaan desa fiktif), sehingga tidak kemudian mengarah kepada kongkalikong itu," kata Direktur LETRAA Yenny Sucipto. Sumber
Itulah gunanya koordinasi dengan Dukcapil, agar desa fiktif bisa terdeteksi sejak mulai diinventarisir desa-desa yang berhak menerima transferan dana desa. Dukcapil pastinya memiliki data yang komplit tentang berbagai desa diseluruh Indonesia.
Tujuan dan niat baik tidak cuma sekadar dilaksanakan, tapi juga dalam implementasinya harus diawasi dan dikelola dengan sebaik mungkin, agar yang menerima bisa merasakan manfaatnya, yang ingin dibantu pun merasakan bantuannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H