Akibat dari sikap kritis Anggota DPRD DKI Jakarta dari fraksi PSI William Aditya, yang mengungkapkan adanya kejanggalan dalam KUA-PPAS untuk APBD DKI Jakarta 2020, PSI dianggap sebagai "anak baru" yang cari panggung.
Sebagian besar "anak lama" di DPRD DKI menganggap cara yang dilakukan kader PSI sebagai melanggar etika. Memang betul itu melanggar etika, itu kalau etika yang berlaku selama ini penuh kompromi, dan berusaha saling menutupi.
Untuk sebuah tindak pengawasan terhadap keuangan negara, DPRD harus punya tradisi baru, paradigma baru, agar tidak terjebak pada pola-pola kompromistis seperti yang sudah terjadi puluhan tahun.
Sistem e-Budgeting yang diprakarsai Jokowi-Ahok pada tahun 2013, adalah sebuah sistem perencanaan dan pengelolaan anggaran yang sangat transparan, dimana setiap orang bisa mengakses mulai dari RAPBD sampai menjadi APBD.
Perlunya peran masyarakat dalam mengawal anggaran Pemerintah, agar bisa Ikut mengkoreksi apa yang dianggap tidak patut. Kalau masyarakat saja diperbolehkan untuk ikut mengkoreksi anggaran Pemprov DKI, apalagi anggota DPRD DKI, yang nota bene memang merupakan tugas dan fungsinya.
Sistem penganggaran tersebut pun menuai pujian dari KPK. Melalui sistem penganggaran tersebut, menurut KPK, masyarakat dapat ikut melakukan kontrol dan koreksi terhadap anggaran DKI Jakarta. KPK pun menyarankan daerah lain untuk ikut menerapkan e-budgeting dalam penganggaran APBD
Pemprov DKI memang tidak menyebarkan usulan anggaran tentang pengadaan lem Aibon dan Ballpoint dalam web APBD DKI, karena dianggap baru berupa usulan yang masih mungkin berubah, namun diduga ada kebocoran sehingga William bisa mengunggahnya ke publik.
Memang kalau mengikuti tradisi yang berlaku di DPRD DKI, apa yang dilakukan William adalah melanggar etika. Dimana seharusnya temuan tersebut dibahas terlebih dahulu dalam forum legislatif, sesuai dengan tradisi yang ada.
Sebagai "anak baru" apa yang dilakukan oleh William, boleh saja dianggap melanggar "tradisi", tapi seharusnya itu juga adalah sebuah shock therapy bagi Pemprov DKI, yang mana seharusnya semua perencanaan anggaran itu bisa masuk dalam e-planning yang satu kesatuan dari e-Budgeting.
Rupanya sistem e-Budgeting sudah bikin Anies Baswedan pusing, sehingga dia menganggap sistem keuangan digital tersebut tidak smart. Padahal sistem e-Budgeting Pemprov DKI tersebut sangat diapresiasi oleh KPK, karena bisa diawasi langsung semua pihak, dan itu bisa mencegah tindak kejahatan korupsi.
Kembali kesoal William si anak baru yang sudah bikin gaduh bocornya data usulan anggaran Pemprov DKI. Sosok kritis seperti William tetap dibutuhkan ditengah-tengah buruknya kinerja DPRD DKI, yang sudah menjadi tradisi.