Tidak ada yang meragukan reputasi Jusuf Kalla (JK) di negeri ini. Dua periode dengan Presiden yang berbeda, peranan JK sebagai Wakil Presiden bukan cuma sebagai pajangan semata.
Ketika menjadi wakil Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), pada periode pertama Pemerintahan SBY, peranan JK sangat begitu penting. Kepercayaan publik terhadap Pemerintahan SBY-JK begitu tinggi.
Pemerintahan SBY-JK, berhasil melakukan perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ini tidak terlepas dari kemampuan Diplomasi JK, yang melakukan pendekatan persuasif dengan para petinggi GAM di Helsinki, Finlandia.
Perjanjian yang dikenal dengan "Perjanjian Helsinki" ini merupakan tonggak sejarah penting, atas Konflik GAM dan Republik Indonesia. Peristiwa penting yang terjadi pada 14 tahun silam, tepatnya 15 Agustus 2005.
Tiga Pemerintahan pascareformasi, Pemerintahan Habibie, Gus Dur, dan Megawati, belum sempat melakukan ini. Sementara SBY-JK, menjadikan perjanjian damai antara GAM dan RI, sebagai debut awal pemerintahannya.
Namun sayangnya, pada Periode kedua SBY tidak lagi menjadikan JK sebagai pasangannya, dan JK pun menjadi rivalnya pada Pemilu Presiden tahun 2009 berpasangan dengan Wiranto. SBY memilih Boediono sebagai wakilnya, ketika ia kembali terpilih sebagai Presiden RI.
Hebatnya lagi, JK tetap menempatkan dirinya sebagai tokoh bangsa, meski tidak berkiprah di pemerintahan. Tidak jarang dia menjadi teman diskusi SBY, di saat sumbangsih pemikirannya dibutuhkan.
Menjelang Pemilu Presiden 2014, saat Jokowi digadang-gadang menjadi Calon Presiden, JK sempat melontarkan sebuah pernyataan yang sangat keras, "Kalau Jokowi jadi Presiden, bisa hancur negeri ini".
Pernyataan JK ini bagi pendukung Jokowi sangatlah menyakitkan. Namun pada kenyataannya, Tuhan membalikkan kenyataan tersebut. Entah dasar kalkulasi politik siapa, akhirnya JK terpilih sebagai pendamping Jokowi pada Pilpres 2014.
Begitulah, kadang Tuhan menguji manusia dengan ucapannya sendiri, Tuhan berkuasa membolak-balikkan hati manusia sesuai dengan rencana-Nya.Â