Mohon tunggu...
Ajinatha
Ajinatha Mohon Tunggu... Freelancer - Professional

Nothing

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Antara Simpati dan Frekuensi Kebencian

12 Oktober 2019   10:30 Diperbarui: 12 Oktober 2019   10:42 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahayanya media sosial sudah banyak memakan korban, tidak sedikit pelaku ujaran kebencian yang dijerat Undang-Undang Imformasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), namun tetap saja tidak mengurangi perbuatan tersebut.

Frekuensi kebencian dan antipati terhadap pejabat publik dilingkaran kekuasaan ditenggarai karena melemahnya komunikasi sosial antara pejabat publik dengan masyarakat. Pernyataan ini bisa diamini. Bahkan frekuensi kebencian hampir berbanding lurus dengan jumlah pengguna media sosial.

Memang ada distorsi komunikasi sosial, namun bukan berarti itu bisa dijadikan pembenaran untuk mengumbar kebencian di media sosial sampai diluar batas kewajaran.

Seberapa bencipun terhadap pejabat negara, tetaplah harus punya rasa hormat dan rasa simpati disaat dia terkena musibah, bukan malah mengumbar kebencian.

Itulah cara menjaga komunikasi sosial antara rakyat dan pejabat. Meluapkan kebencian di media sosial bukanlah cara yang tepat, karena ada Undang-Undang yang harus dipatuhi bagi pengguna media sosial.

Apa lagi kebencian tersebut diluapkan kepada pejabat negara yang sedang menghadapi musibah, dimana sejatinya rasa simpati yang perlu dikedepankan, bukanlah kebencian.

Korban kasus Wiranto
Seperti kasus yang dialami Menko Polhukam Wiranto, betapa banyak respon yang sangat negatif di media sosial, tapi tidak sedikit juga yang simpati terhadap apa yang dialami beliau.

Sudah ada yang menuai hasil dari perbuatannya tersebut, karena memang penerapan UU ITE yang digencarkan pemeritah, sudah banyak memakan korban.

Kalau masyarakat dengan strata sosial menengah kebawah terjerat UU ITE, bisa jadi karena tidak memahami bahwa dalam bermedia sosial ada aturan dan ancaman dari UU tersebut.

Tapi ketika yang melanggar UU ITE adalah masyarakat dengan strata sosial menengah keatas, sungguh sangat disayangkan, karena dengan klasifikasi sosial tersebut harusnya sudah memahami adanya ancaman UU ITE.

Bisa jadi karena merasa dari kalangan berpangkat dianggap akan kebal dengan berbagai ancaman hukuman, padahal hukum ditegakkan tanpa memandang klasifikasi sosial.

Kita ikut prihatin dengan adanya Perwira di Angkatan Darat harus dicopot jabatannya hanya Gara-gara isterinya nyinyir terhadap apa yang dialami Wiranto, yang nota bene adalah Mantan Panglima TNI.

Begitu juga perwira di TNI AU, yang kena sanksi indisipliner, dan dicopot jabatannya karena kasus yang sama. Sanksi tegas ini mungkin tidak pernah diduga oleh pelaku.

Inilah dampak dari tingginya frekuensi kebencian di media sosial. Sehingga dalam peristiwa duka pun yang dikedepankan bukanlah rasa simpati, tapi malah kebencian.

Efek sosial yang merupakan dampak negatif dari media sosial ini, menjangkiti sebagian besar kalangan masyarakat kita diberbagai lapisan sosial. Adanya UU ITE nampaknya tidak mempengaruhi aktivitas masyarakat dalam bermedia sosial.

Peranan Menkominfo
Kemudahan dalam akses menggunakan media sosial, membuat para penggunanya kurang bertanggung jawab, sehingga mengabaikan segala aturan dan Undang-Undang yang diberlakukan Pemerintah.

Akun-akun anonim bertebaran menyebarkan berita bohong dan fitnah, dan dengan mudah melakukan penghinaan terhadap kepala negara. Meskipun beberapa pelaku sudah ditangkap, tetap saja perbuatan yang sama terus berulang.

Kementerian Komunikasi dan Imformasi (Menkominfo), harusnya bisa mengurangi tindakan penyalahgunaan media sosial. Meniadakan media sosial bukanlah tindakan yang bijak, tapi membiarkan media sosial tanpa pengawasan yang intensif, juga tidaklah bijaksana.

Indonesia "Negara Terberisik"
Indonesia dianggap sebagai negara Terberisik dalam bermedia sosial, sehingga gaungnya sampai mendunia. Pengguna media sosial di Indonesia dianggap teraktif dan prekuensi penggunaan media sosial cukup tinggi.

Hal itu diakui Antonny Liem, CEO PT Merah Cipta Media yang membawahi sejumlah perusahaan konsultan komunikasi, startup incubator, dan berbagai perusahaan teknologi online di Indonesia.

Menurutnya, masyarakat kita sangat aktif bermedia sosial. Sebanyak 93% dari pengguna internet di Indonesia, aktif mengakses Facebook. Bahkan Jakarta tercatat sebagai pengguna Twitter terbanyak, hingga disebut sebagai ibukota media sosial berbasis teks 140 karakter tersebut.

"Jumlah mobile subscription yang aktif di Indonesia juga mencapai 282 jutaan. Di mana 74% di antaranya digunakan masyarakat kita untuk mengakses media sosial," ungkap Antonny kepada detikINET, Senin (23/2/2015). Sumber

Dalam memperlihatkan rasa simpati dan antipati haruslah juga dilihat situasi dan kondisinya, terlebih lagi dimedia sosial. Karena di media sosial apapun yang diposting menjadi konsumsi publik, respon yang diterima pun beragam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun