Kehadiran buzzer politik karena dibutuhkan yang mampu membayar, bukan karena kondisi dan situasi ekonomi yang tidak baik. Jangan cari kambing hitam untuk menjatuhkan profesi buzzer.
Tidak ada jaminan jika Rizal Ramli jadi Menteri keuangan, maka buzzer akan game over. Rizal Ramli cuma manusia biasa, sama seperti manusia pada umumnya, tidak perlu dibesar-besarkan.
Sudah dibuktikan sama Jokowi, diangkat sebagai Menteri kemaritiman, Rizal tidak bisa berbuat apa-apa, tidak satupun kebijakannya yang membawa perubahan yang significant, makanya juga dicopot dari jabatannya.
Saya menuliskan ini bukan karena saya buzzer Jokowi, tapi karena keangkuhan pernyataan yang merendahkan martabat buzzer. Saya juga buzzer, tapi bukanlah seperti buzzer yang sedang dihebohkan.
Menjeneralisir profesi buzzer sebagai seburuk-buruknya sampah, adalah pernyataan yang sombong dan arogan. Mungkin profesi Adhie Massardi sendiri tidak lebih mulia dariw seorang buzzer.
Tidak semua orang mampu membayar buzzer politik, karena tarif seorang buzzer politik tidaklah murah, makanya dengan tarif yang mahal tersebut, seorang buzzer juga tidak sembarangan menerima pekerjaan.
Cuma ada dua hal yang menyebabkan seseorang mau menjadi buzzer politik,
Pertama, yang mengajak kerjasama mau membayar sesuai dengan nilai yang ditentukan buzzer.
Kedua, kalau pun secara angka/nilai tidak sesuai dengan yang diinginkan, minimal mengenal dekat pihak yang ingin mengajak kerjasama.
Dan biasanya ada ketentuan diluar itu, yakni sebagai buzzer tidak menerima pesanan untuk membuat atau menyebarkan berita bohong. Ini kalau buzzer profesional yang saya ketahui.
Reputasi buzzer menjadi rusak, karena banyaknya penyebar hoaks di media sosial, sehingga siapa saja yang berdengung membuat bising di media sosial dianggap sebagai buzzer.