Mohon tunggu...
Ajinatha
Ajinatha Mohon Tunggu... Freelancer - Professional

Nothing

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pengesahan 6 RUU dengan Daftar Hadir 96 Anggota Dewan?

25 September 2019   07:00 Diperbarui: 25 September 2019   08:46 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memanipulasi jumlah daftar hadir dalam sebuah Paripurna untuk mengesahkan 6 RUU, itu adalah pembohongan dan penghianatan terhadap amanat rakyat. Untung saja ada Surat dari kementrian Hukum, untuk menunda pengesahan RUU tersebut.

Ada apa dengan DPR?

Hanya untuk memenuhi ketentuan tatib maka kuorum telah tercapai dan dihadiri oleh seluruh fraksi, dan itu hanya dilihat dari daftar hadir yang berjumpah 288 orang. Padahal dalam hitungan secara manual, jumlah anggota dewan yang hadir hanya 96 orang.

Inikan jumlah yang tidak memenuhi kuorum sebetulnya, namun karena DPR harus kejar setoran, maka dibikinlah didaftar hadir jumlahnya 288 orang. Jelas ini perbuatan yang menipu publik.

Menjelang akhir masa jabatan DPR Periode 2014-2019, hampir disetiap Paripurna, jumlah anggota dewan yang hadir selalu membuat kita miris. Dengan jumlah kehadiran anggota seperti itulah mereka memaksakan diri untuk kejar setoran mengesahkan berbagai RUU yang pasal-pasalnya penuh dengan kontroversial.

Seperti yang dilansir Kumparan, Berdasarkan pernyataan Fahri, anggota dewan yang hadir sebanyak 288 anggota. Namun Fahri tidak menyebut berapa banyak anggota dewan yang izin dari total kehadiran.

Izin di paripurna dianggap hadir. Namun berdasarkan hitungan manual, hanya 96 anggota DPR yang hadir termasuk pimpinan di ruangan paripurna. Artinya dari total 560 orang, ada 464 yang tidak hadir hingga 12.09 WIB.

"Berdasarkan catatan Kesekjenan, daftar hadir sebanyak 288 anggota, oleh sebab itu berdasarkan ketentuan tatib maka kuorum telah tercapai dan dihadiri oleh seluruh fraksi," kata Fahri di meja pimpinan ruang Rapat Paripurna, DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9).

Bisa dibayangkan seperti apa hasilnya jika pengesahan 6 RUU yang masih penuh kontroversi tersebut terjadi, sementara mereka cukup berdalih, kalau seandainya kurang berkenan dengan Undang-Undang yang dianggap kontroversi, bisa mengajukan Yudicial Review ke MK.

Inikan pernyataan yang sangat tidak profesional dan bertanggung jawab. Seharusnya setiap Undang-Undang yang dihasilkan DPR, tidak perlu lagi diuji materi ke MK, karena memang sudah sesuai dengan kebutuhan dan tidak bermasalah dalam penerapannya.

Dari 6 RUU yang akan disahkan DPR tersebut diantaranya, RUU Pemasyarakatan, 5 RUU lainnya adalah RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU APBN beserta Nota Keuangan, RUU Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, RUU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, dan RUU tentang Pesantren.

Seperti diketahui, DPR kemarin (24/9/2019), menggelar rapat paripurna untuk pengambilan keputusan tingkat II terhadap 6 RUU, termasuk RUU yang diminta Presiden Jokowi ditunda, yaitu RUU Permasyarakatan.

Rapat dimulai pada 11.50 WIB dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, didampingi Ketua DPR Bambang Soesatyo, Wakil Ketua DPR Utut Adianto, dan Wakil Ketua DPR Agus Hermanto.

Agenda pertama yakni pembacaan pengambilan keputusan RUU Pemasyarakatan. Namun, sebelum dibacakan dan diambil keputusan, kata Fahri, pimpinan DPR telah menerima surat dari Menteri Hukum dan HAM terkait permintaan penundaan pengambilan keputusan RUU ini.

Untung saja ada Surat dari Menteri Hukum dan HAM, sehingga beberapa RUU yang seharusnya disahkan kemarin, akhirnya ditunda. Alhasil hanya RUU Pesantren yang disahkan.

Kalau daftar hadir anggota saja bisa dimanipulasi jumlahnya, itu artinya praktik tersebut sudah sering dilegalkan pada setiap Paripurna. Pembohongan dan penghianatan dewan terhadap amanat rakyat, sudah mereka pertontonkan.

Adakah mereka fahami bahwa, apapun yang mereka hasilkan di senayan itu adalah amanat rakyat yang harus mereka pertanggungjawabkan. Jadi wajar kalau mahasiswa meluapkan kemarahannya kepada DPR, dan menganggap DPR sebagai "Dewan Penghianat Rakyat."

Mosi Tidak Percaya Mahasiswa pada DPR

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) Manik Marganamahendra, sangat emosional di ruang Baleg, gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (23/9/2019). 

Pada awalnya berharap bisa berdialog dengan Anggota Komisi III DPR RI, untuk membahas masalah Revisi UU KPK dan RKUHP, ternyata mereka malah diterima oleh Anggota Fraksi Partai Gerindra, meskipun pada akhirnya mereka dipertemukan dengan Komisi III DPR RI, yang hanya diwakili tiga orang.

Baca juga : "Mahasiswa Tolak Politisasi Fraksi Gerindra"

Akumulasi berbagai kekecewaan mahasiswa terhadap DPR ditumpahkan Manik tanpa ada rasa sungkan, karena dari sekian tuntutan mahasiswa yang pernah disampaikan kepada Sekjen DPR RI, ternyata tidak pernah sampai ke Komisi III.

Puncak kekesalan mahasiswa kepada DPR, mahasiswa melayangkan Mosi Tidak Percaya Kepada DPR, dihadapan para Anggota Dewan, Manik mengatakan bahwa DPR adalah Dewan Penghianat Rakyat. Apa yang dikatakan Manik adalah benar. Karena DPR tidak lagi merepresentasikan diri sebagai Wakil rakyat, tapi sebagai Wakil Partai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun