Kerusuhan di Manokwari, Papua memang dipicu oleh kasus Persekusi Mahasiswa di Surabaya dan Malang. Sementara kasus penyerangan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya pun hanya disebabkan tersebarnya bendera Merah putih, yang dibuang didalam got depan asrama.
Lantas atas dasar foto itu dijadikan alat provokasi untuk melakukan penghakiman, tanpa terlebih dahulu mencari tahu kebenaran sesungguhnya. Yang terprovokasi sentimen kebangsaan pun ingin unjuk diri sebagai Pahlawan kebenaran, pencinta Indonesia, dan Nasionalis.
Hanya karena sebuah simbol Kebangsaan harus mengorbankan Persatuan, yang nilainya lebih besar dari sebuah simbol kebangsaan itu sendiri. Hanya karena terusulut, terprovokasi, sehingga menanggalkan akal sehat demi memenuhi syahwat amarah.
Bahkan bukan cuma massa yang tersulut, tapi juga aparat yang seharusnya berada ditengah-tengah, bukan berada pada Salah satu pihak. Bayangkan efek dari semua itu menimbulkan reaksi ditanah Papua, yang akibatnya secara sporadis massa di Papua berbuat anarkis.
Yang teramat disayangkan dalam penanganan kasus ini tidak didalami akar permasalahan sebenarnya, sehingga yang mengemuka cuma mencari kambing hitam yang layak dijadikan tumpahan kesalahan.
Padahal kasus di Surabaya dan di Papua adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, ada 'Mastermind' yang bekerja secara terencana. Pendekatan penanganan kasus ini tidak bisa dengan cara-cara represif, karena memang itu yang dikehendaki oleh sang mastermind.
Tidak selalu amuk massa diatasi dengan cara represif, cara persuasif pun perlu diterapkan, karena dengan cara ini akan menciptakan suasana yang lebih kondusif, semakin kondusif situasinya maka akan lebih mudah melihat akar persolannya.
Berbagai pemberitaan media dengan lantang mengabarkan bahwa demo mahasiswa papua bukan cuma di Manokwari, tapi juga di beberapa daerah lainnya di Papua, bahkan melebar sampai ke Makasar, Medan dan Bandung.
Tergambarkan betapa kasus ini penuh muatan kepentingan pihak ketiga, yang memanfaatkan sentimen etnis dan simbol kebangsaan, karena medium ini dianggap efektif untuk menciptakan gesekan, yang diharapkan bisa menimbulkan perpecahan.
Yel yel yang diteriakan mahasiswa dalam demo-demo tersebut bernuansa sparatisme. Bahkan atribut kampanye pun juga demikian, nah inikan sangat jelas siapa yang menunggangi dan siap yange ditunggangi.
Bagi pihak ketiga, cara-cara ini dianggap efektif untuk menarik perhatian Internasional, seakan-akan ada persoalan di Papua, ada penindasan di Papua, sehingga adanya pemberontakan masyarakat.
Padahal secara realitas tidaklah demikian, karena aktivitas tersebut memang sengaja diciptakan agar diliput media dan dibicarakan di forum Internasional.
Yang perlu dicari dari kasus-kasus ini bukanlah 'Kambing Hitam,' tapi mastermind dan provokator yang menjadi kaki tangannya. Aparat juga tidak perlu Alergi untuk dipersalahkan, karena sebagai penanggung jawab keamanan memang sudah resikonya untuk dipersalahkan.
Kalau sekedar mencari kambing hitam, maka sulit untuk mencari mastermind dan provokator dari kasus penyerangan asrama mahasiswa Papua. Kasus ini akan terus berulang dengan modus yang lain lagi, dan targetnya tetap Sama.
Itu kalau pihak kepolisian tidak bisa menangkap mastermind dan provokator dari kasus tersebut. Dan mereka akan merasa sukses dengan semua rencana yang sudah dilakukan, itulah dasarnya untuk mengulangi kasus yang sama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI