Mohon tunggu...
Ajinatha
Ajinatha Mohon Tunggu... Freelancer - Professional

Nothing

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

KPI Tidak Harus Seperti "Ormas Agama"

16 Agustus 2019   07:26 Diperbarui: 16 Agustus 2019   08:13 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai lembaga yang mengawasi konten produk penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI harus juga memahami implikasi dari aturan yang diterapkan pada produk penyiaran, jangan sampai malah membelenggu kreativitas para Pekerja kreatif produk penyiaran.

Menjadi 'Polisi' produk penyiaran tidak harus seperti Ormas Agama, yang mengobrak-abrik apa yang dianggap melanggar aturan dan norma agama, tanpa etika sosial bermasyarakat, menegakkan Amar ma'ruf tapi dengan cara yang Munkar.

Apalagi sekarang katanya KPI ingin merambah kedunia digital, sementara pengawasan diproduk tayangan televisi saja KPI masih sering kebablasan. KPI tidak perlu memperluas sepak terjangnya hanya demi menaikkan posisi tawar.

KPI secara lembaga belumlah seperti KPK, yang mana rekrutmen Komisionernya melalui uji kelayakan di DPR. Dalam hal satu ini KPI masih banyak kelemahannnya, dimana kredibiltas Komisionernya masih perlu dipertanyakan.

Selama saya bekerja di bidang produk tayangan televisi, khususnya sinetron, banyak sekali aturan KPI yang menghambat proses kerja kreatif dilapangan. Dimana aturan yang dibuat tanpa pernah memikirkan kaidah-kaidah estetik yang sangat membelenggu kreativitas.

Aturan yang diterapkan KPI terlalu banyak larangannya, sementara produk penyiaran itu sebagian besar adalah produk olah kerja kreatif, yang dihasilkan oleh para Pekerja kreatif, yang membutuhkan ruang kebebasan berekspresi, guna menghasilkan produk penyiaran yang bernilai tinggi.

Itulah kenapa penulis bilang, KPI tidak Harus seperti Ormas Agama masa kini, yang terlalu banyak larangannya, sehingga mengancam kebebasan masyarakat dalam kehidupan sosialnya, selalu takut diobrak-abrik Ormas agama, terlebih lagi didaerah-daerah tertentu.

Dibawah ini adalah salah satu contoh larangan/aturan KPI dalam menayangkan program siaran mistik, horor, dan supranatural (MHS). Permintaan tersebut disampaikan dalam surat edaran KPI Pusat Nomor 481/K/KPI/31.2/09/2018 tertanggal 5 September 2018.

Sumber: KPI.go.id
Sumber: KPI.go.id

Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis mengatakan bahwa dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) masih memberi ruang pada tayangan dengan muatan MHS, hanya saja KPI perlu mengatur dengan lebih detail melalui surat edaran ini, agar lembaga penyiaran dalam menayangkan konten MHS tidak semata untuk menghibur namun juga bermanfaat bagi masyarakat.

"Terdapat dua hal krusial yang benar-benar harus diperhatikan dalam produksi konten dengan muatan MHS. Pertama, adalah permasalahan perlindungan anak. Dan yang kedua, adalah tampilan yang terkait dengan agama atau budaya tertentu," katanya di Kantor KPI Pusat, Senin (10/8/2018). KPI.go.id

Sebetulnya kalau saja produk penyiaran tersebut ditayangkan tanpa menargetkan tingginya 'Rating,' penulis sangat yakin KPI tidak perlu repot-repot menyortir produk penayangan Stasiun TV. Tingginya rating menjadi target semua tayangan TV, karena pemasang iklanpun berpatokan dari hal tersebut.

Untuk mengejar tingginya rating itulah pada akhirnya membuat para penggagas kreatif sebuah tayangan, bekerja keras mengolah kreativitasnya, agar produk yang ditayangkan bisa meraih audience dengan maksimal.

Tidak bisa dipungkiri pada akhirnya ada yang sampai melanggar aturan KPI. Bagaimana mungkin sebuah tayangan horror tanpa harus mendramatisir keseraman, dan bagaimana mungkin sebuah tayangan drama keluarga tanpa menguras air Mata.

Sementara aturan-aturan yang dibuat oleh KPI sebagian besar membatasi hal-hal yang bersifat mengeksploitasi. Melarang adanya darah dalam adegan kecelakaan misalnya, kalaupun ada darah harus diminimalkan, sementara kecelakaan yang dibutuhkan adalah kecelakaan dahsyat, yang sengaja didramatisir sedemikian Rupa.

Aturan-aturan ini seharusnya dibuat bersama-sama dengan para Pekerja kreatif, supaya dalam penerapannya dilapangan tidak ada lagi yang dipermasalahkan. Yang seperti ini dibenahi dulu, baru merambah kedunia tayangan digital seperti Netflix dan YouTube.

Bayangkan kalau membenahi tayangan di YouTube, seperti apa nasib para vlogger yang menggantungkan hidupnya dari Karya kreatifnya, yang sangat mengandalkan kebebasan berekspresinya.

Yang jelas KPI tidak perlu menaikkan posisi tawarnya hanya dengan memperketat aturan, yang mana aturan tersebut sangat 'negosiabel.' Kalau harus tegas ya harus tanpa kompromi, kalau harus kompromi ya gak perlu tegas-tegas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun