Saya pernah menuliskan tentang situasional Pemilu Kongo 2018. Yang mana Skenario kondisionalnya sangat mirip dengan Pemilu 2019 di Indonesia, dimana upaya mendeligitimasi KPU, dengan tidak mempercayai KPU sebagai lembaga yang kredibel.
Baca juga : Pemilu 2019 Bukanlah Pemilu di Kongo
Kalau di Pemilu Kongo gudang logistik KPU dibakar sebelum Pemilu dilaksanakan, antara oposisi dan Pemerintah saling menyalahkan, sementara di Indonesia gudang logistik KPU terbakar pasca pencoblosan, sementara penghitungan suara KPU belum selesai.
Belum diketahui apa yang menyebabkan gudang KPU di Sumatera Barat terbakar, apakah ada yang membakar atau karena sesuatu dan yang lain hal. Ini adalah juga yang akan menyebabkan kekisruhan terhadap hasil Pemilu.
Upaya mendeligitimasi KPU ini sudah terlihat sejak awal Pemilu diselenggarakan, tuduhan terhadap server KPU yang disetting untuk memenangkan paslon 01 juga digulirkan. Jauh sebelum itu beradar kabar ditemukan berkarung-karung surat suara yang tercecer, sementara KPU belum mencetak surat suara.
Juga hoaks 7 Kontainer surat suara yang sudah tercoblos dipelabuhan tanjung periuk. Pasca pencoblosan beredar kabar website KPU diretas Hacker komunis china, padahal itu pun merupakan kabar bohong.
Upaya mendeligitimasi KPU adalah juga upaya untuk mendeligitimasi Pemilu 2019. Terbukti sudah ada wacana agar Pemilu 2019 diulang. Inikan sangat tidak beralasan, bayangkan berapa banyak lagi negara harus keluarkan anggaran untuk Pemilu ulang. Harusnya kalau ada persengketaan, selesaikan saja Di MK, bukan malah bawa keegoisan masing-masing.
Tidak ada upaya untuk menyelesaikan segala bentuk persengketaan hasil perhitungan suara, secara konstitusional, sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang Pemilu, kubu 02 yang sudah Deklarasi dini Capresnya sebagai Pemenang Pilpres, sementara KPU belum mengumumkan hasilnya.
Sama seperti Pemilu di Kongo juga demikian, sehingga masyarakat dibikin bingung. Situasi ini akan menimbulkan gesekan di masyarakat kalau sampai tidak cepat diredam. Kubu 02 bersikukuh sebagai pemenang, hanya atas dasar perhitungan suara internal.
Kalau saja setiap pihak mau menghargai aturan dan Undang-Undang yang berlaku, maka sengketa ini bisa diselesaikan di Mahkamah Konstitusi. Karena mekanisme aturan yang berlaku dalam UU Pemilu memanglah seperti itu.
Namun agaknya kubu 02 tidak ingin mengikuti mekanisme konstitusi, hanya karena merasa dicurangi. Harusnya kalau memang ada kecurangan, harus dibuktikan secara bersama-sama, bukan hanya atas pernyataan satu pihak, begitu juga sebaliknya, kebenaran pun harus diakui oleh kedua pihak, bukan cuma satu pihak.
Kalau para pemimpin sendiri tidak bisa menghargai aturan, bagaimana rakyat mau tertib terhadap aturan. Ke depan dalam penyelenggaraan negara kita akan sulit menertibkan masyarakat untuk patuh pada aturan, karena pemimpinnya sendiri tidak memberikan teladan yang baik.
Jokowi sudah mengirimkan utusannya untuk menemui Prabowo, namun sepertinya tidak membuahkan hasil. Sementara Imam Besar FPI, Rizieq Shihab, menghimbau kepada kubu Prabowo-Sandi, agar tidak melakukan deal-deal tertentu dengan Kubu Jokowi-Ma'ruf.
Sepertinya memang ada pihak yang menginginkan terjadinya kekacauan akibat pelaksanaan Pemilu 2019. Pemilu hanya dijadikan pintu masuk untuk menciptakan kerusuhan. Dengan adanya kerusuhan massal, maka mereka akan masuk untuk menambah kekacauan.
Inilah yang harus diantisipasi oleh aparat keamanan, sebagai masyarakat kita tidak perlu terpancing untuk melakukan pertikaian, kalau sampai itu yang terjadi yang rugi hanya kita sendiri. Mereka yang menginginkan peluang tersebut akan bertepuk tangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H