"Jadi walaupun tes tertulis nilainya 100, wawancara nilainya 1000, tapi media sosialnya isinya negatif, ke laut aja,"
Itulah yang dikatakan Menteri Tenaga Kerja, M.Hanif Dhakiri, Menaker saat menjadi Narasumber Dialog Sosial Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Bekasi, Jumat malam (29/3).
Sebetulnya, beberapa tahun yang lalu ada banyak institusi yang sudah menerapkan aturan seperti itu. Anak saya ketika melamar kerja di TransTV, saat mas Whisnu Tama masih menjabat, pernah berhadapan langsung dengan beliau.
Yang pertama kali ditanyakan adalah akun media sosial, khususnya Twitter, berapa jumlah follower.? Dan langsung diminta akun twitternya dan dicek langsung oleh mas Tama. Begitu tahu jumlah followernya diatas 20k, dia langsung response secara positif.
Memang kebetulan bidang yang akan ditangani dalam pekerjaan tersebut sebagai social media planner, tapi kredibiltas akun media sosialnya juga tetap menjadi perhatian yang serius, apa saja konten yang ditwit setiap hatinya, positif atau negatif.
Karena akun media sosialnya dinilai memenuhi kriteria, maka dengan mudah diapun diterima bekerja diposisi yang dibutuhkan. Wajar sih di era media sosial sekarang ini setiap instansi menerapkan aturan tersebut, karena dari akun media sosial, kredibiltas seseorang pelamar kerja bisa dinilai.
Interaksi sosial seseorang di media sosial, sangat mempengaruhi moral attitude-nya, buruk prilakunya dalam bermedia sosial, maka akan berpengaruh pada attitude-nya dalam bekerja.
Menaker juga meminta masyarakat untuk lebih berhati-hati dan bijak menggunakan media sosial. Pasalnya, saat ini banyak perusahaan yang menjadikan akun media sosial sebagai salah satu aspek penilaian dalam rekrutmen tenaga kerja.