“Semua itu takkan terjadi tanpa Ali Sadikin. Ia penguasa yang paling unik. Kalau dikritik tak tersinggung, malah belajar. Yang paling berjasa dalam pembentukan Pusat Kesenian Jakarta tentulah Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin,”(Arif Budiman)
Bicara tentang HUT DKI Jakarta tentu tidak bisa dipisahkan dengan nama Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta yang sangat akrab dengan masyarakat Jakarta, khususnya masyarakat Betawi. Bahkan Ali Sadikin pun senang dipanggil dengan sebutan Bang Ali, itulah bentuk kedekatannya dengan masyarakat yang dia pimpin.
Di tangan Bang Ali pula kesenian Betawi kembali hidup, dan berkembang, selalu ada pesta rakyat yang digelar Bang Ali, dimana Bang Ali dan Mpok Nani ada dikeramaian pesta rakyat. Pesta yang selalu digelar di Jl. MH Thamrin, dan digelar semalam suntuk, disitulah masyarakat Jakarta tumpah ruah merayakan HUT DKI Jakarta bersama Gubernur yang mereka cintai.
Dalam tulisan yang singkat ini juga saya ingin menceritakan bagaimana Bang Ali terinspirasi untuk membangun Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Dan ini juga merupakan bentuk dari kepedulian beliau terhadapa keberadaan seniman dan Kesenian yang ada di DKI Jakarta.
Mungkin tulisan ini juga akan memberikan inspirasi bagimkita semua, seperti apakah sosok Gubernur DKI Jakarta yang diidamkan masyarakat DKI Jakarta sebetulnya, apakah darinsekian kandidat Gubernur yang ada sekarang ini, ada yang memenuhi kriteria seperti yang kita harapkan.
Sebelum diangkat menjadi Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden Soekarno, Ali Sadikin merupakan seseorang yang telah menduduki kursi Menteri, Menko dan Deputi Menteri Urusan Ekuin. Karena kedudukannya itu, ia banyak berkeliling ke berbagai kota mancanegara dan melihat adanya pusat kesenian di berbagai negara modern.
Berbekal petualangannya itu, maka ketika beliau menjabat sebagai Gubernur DKI timbullah inspirasinya untuk membangun pusat kesenian di Jakarta yang diungkapkannya awal tahun 1968, saat meresmikan pemakaian kembali Balai Budaya yang merupakan tempat berkumpulnya seniman-seniman Jakarta di Jl Gereja Theresia.
Begitu dekat dan cintannya Bang ali dengan kesenian dan seniman pada saat itu, Bang ali melihat Balai Budaya sebagai satu-satunya wadah para seniman Indonesia di DKI Jakarta saat itu, tak lagi cukup untuk menampung para seniman untuk berkreatifitas dan menuangkan gagasan seninya, maka terpikirkan oleh beliau untuk membangun suatu wadah baru yang lebih besar dan mampu untuk menampung berbagai hasil karya seni para seniman indonesia di DKI Jakarta.
Para seniman “dikumpulkan” di sebuah tempat dengan satu tujuani: memajukan seni dan kebudayaan. Bang Ali lantas memerintahkan stafnya untuk mencari sebuah kawasan yang ideal sebagai Pusat Kesenian Jakarta. Akhirnya, ditemukan sebuah areal di Jl. Cikin 73, Jakarta.
Setelah tempat ditemukan, pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada seniman untuk memikirkan perencanaan dan konsep selanjutnya.
Pada periode 1968, secara intens terjadi pertukaran pikiran soal seni dan budaya terjadi di Kantor Harian KAMI, tempat Gunawan Mohamad bekerja dan biasa disinggahi seniman bersama budayawan lain dan aktivis 66.
Juga pertemuan selanjutnya di pondokan Salim Said (wartawan Angkatan Bersenjata) Jl. Matraman Raya 51, yang juga sering dikunjungi oleh Arifin C. Noer (Almarhum dulu wartawan di Pelopor Baru), Gunawan Mohamad dan Ed Zulverdi (keduanya wartawan di harian KAMI) juga Sukardjasman (wartawan Sinar Harapan).
Saat itu, konsep semuanya diketik oleh Arifin C. Noer di kamar kerja Salim Said dan diserahkan oleh Christianto Wibisono kepada Bang Ali.
Akhirnya tanggal 10 November, 43 tahun lalu, di sebuah tempat seluas kurang lebih 8 hektare, dulu masih bernama Jalan Raden Saleh dan kemudian dijadikan kebun Binatang Cikini (sebelum pindah ke Ragunan) akhirnya menjadi sejarah sebuah gedung pusat kesenian.
Inilah sebuah mimpi yang menjadi kenyataan. Pasalnya, tempat nongkrongnya seniman di Pasar Senen atau Balai Budaya tak bisa dipakai lagi, karena perpecahan ideologi politik. Sejak itu seniman pun kehilangan tempat “pertemuan”. Maka jadilah TIM sebagai wadah baru bagi seniman indonesia di DKI Jakarta.
Bagi pecinta dan pelaku seni, nama Taman Ismail Marzuki (TIM) di bilangan Jl Cikini Raya No 73, Jakarta Pusat, bukanlah tempat yang asing. Nama tempat yang diambil dari nama komponis asal Betawi Ismail Marzuki itu, bahkan belakangan semakin lekat di kalangan pecinta seni karena kehadiran sejumlah bangunan pendukung lainnya seperti, Planetarium, Graha Bakti Budaya, Pusat Sastra HB Jassin, Cineplex 21 serta Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Jadi sangatlah disayangkan apa bila Pusat Sastra HB Jassin, yang sekarang dikenal dengan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, tidak bisa dikelola dengan baik oleh Pemerintah DKI, hanya dikarenakan tidak adanya ketersediaan dana untuk dialkosikan bagi operasional PDS tersebut, padahal PDS merupakan asset Pemda DKI juga Bangsa Indonesia yang sangat berarti keberadaannya.
Dengan rasa cinta yang besar terhadap kesenian, Bang Ali berupaya membangun Pusat Kesenian Jakarta dengan berbagai fasilitasnya, tapi kenapa sekarang Pemerintah yang meneruskan apa yang sudah dibangun oleh Bang Ali, tidak mampu untuk merawat dan melestarikannya.
Kalau membangun dan membuat gagasan yang besar dan bermanfaat saja kita tidak mampu, kenapa kita tidak berusaha untuk merawat dan menjaganya dengan sebaik mungkin.
Sumber :
sastra-indonesia.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H