[caption id="attachment_359243" align="aligncenter" width="300" caption="Foto illustrasi : Ajinatha"][/caption]
Bunglon, sebagaimana kita ketahui adalah binatang yang bisa berubah-ubah warna kulitnya, sesuai dengan warna dahan dan tempat dia bertengger, dan ini menjadi salah satu kelebihannya. Tapi lain halnya dengan Partai Demokrat, kalau dikatakan Demokrat sebagai partai bunglon agak kurang tepat, karena Demokrat tidak pernah berubah-ubah fisik partainya, yang berubah-ubah itu justru Gesture Politic para elite partainya, sekarang ngomong apa, besoknya lain lagi yang dikatakan.
Laku politik yang tidak konsisten dari para elite partai itulah yang menyebabkan Demokrat dianggap sebagai partai Bunglon, tapi pada kenyataannya, para elite demokrat tidak bisa terima kalau demokrat dikatakan partai bunglon. Seperti yang dikatakan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
"Kalau Partai Demokrat tidak masuk ke salah satu koalisi, tidak berarti Partai Demokrat tidak punya prinsip atau posisi. Ada yang katakan bunglon, itu salah besar," ujar SBY usai rapat pleno DPP Partai Demokrat, Kamis (11/12/2014).(Kompas.com)
Tidaklah salah juga kalau ada yang mengatakan Demokrat Partai Bunglon, karena sikap elite partai yang mencla-mencle dan tidak konsistenlah sehingga predikat itu disematkan pada Partai Demokrat. Ketika Aburizal Bakrie (ARB) mengatakan bahwa Partai Golkar menolak Perppu Pilkada langsung, SBY memberikan reaksi balik badan seakan ingin membawa Partai Demokrat bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), tapi ketika ARB mendukung Perppu Pilkada Langsung, dengan tegas SBY mengatakan tidak akan bergabung dengan KIH.
Sikap ambigu seperti inilah yang pada akhirnya membuat Demokrat dicap sebagai Partai Bunglon, padahal SBY sendiri pernah menyatakan tidak suka dengan kelompok yang tidak satu kata dengan perbuatan, seperti isi tuitnya ketika memberikan reaksi terhadap pernyataan ARB,
@SBYudhoyono: Saya menganut politik yg berkarakter, bermoral, bisa dipercaya & satu kata dgn perbuatan. Rakyat menginginkan politik seperti ini. *SBY
Seharusnya sikap dan Partai Demokrat adalah cermin dari sikap para elite partainya, seperti prinsip yang dikatakan SBY tersebut di atas, tapi pada kenyataannya sangat bertolak belakang dengan apa yang dikatakan SBY sendiri. Bermoral dan bisa dipercaya bisa dimaknai sebagai sebuah sikap yang elegan, apa yang dikatakan sesuai dengan apa yang dilakukan, dan tidak berubah-ubah seperti bunglon, yang adaptif dengan situasi dan kondisi politik yang berkembang, ada konsistensi sikap yang bisa dipegang.
SBY boleh saja mengatakan bahwa Demokrat tidak berada di KMP atau pun di KIH, Demokrat ada di tengah-tengah sebagai penyeimbang, tapi gesture politic SBY tidaklah demikian. Kesan yang terlihat Demokrat bergabung dengan KMP, tapi sementara KMP adalah koalisi yang mengusung Pilkada via DPRD, tetapi soal Pilkada, Partai Demokrat mendukung pilkada langsung, berbeda dengan KMP yang menggolkan Undang Undang Pilkada yang mengatur pilkada melalui DPRD.
Sah saja SBY mengatakan tidak benar kalau Demokrat dikatakan sebagai partai Bunglon, tapi laku politiknya di mata masyarakat menganggap tetap saja demokrat sebagai Partai Bunglon. Kalau Demokrat yang terus mempertahankan laku politik yang demikian, penulis berkeyakinan, pada Pemilu 2019 Demokrat akan menghadapi situasi yang sama dengan Pemilu 2014. Demokrat akan semakin tidak disukai, SBY sebagai ikon Demokrat harusnya bisa membawa Demokrat menjadi Partai Besar, dan bahkan bisa menjadi pemenang Pemilu 2019, tapi kalau masih mempertahankan sikap politik yang ambigu, maka habislah harapan partai Demokrat di Pemilu 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H