Mohon tunggu...
Aji Muhammad Iqbal
Aji Muhammad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Amatir

Pantang meninggal sebelum berkarya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wajah PBNU Kini Kian Romantis, Bukan?

17 Januari 2022   12:35 Diperbarui: 17 Januari 2022   13:24 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Oleh: Aji Muhammad Iqbal

Wacana kesetaraan gender jika disuguhkan pada NU, tak ubahnya bagaikan makan di Restoran Hotel terkemuka. 

Menu makan mewah yang berjajar membuat perut keroncongan semakin menjadi-jadi.
Apalagi makanan yang asing di lidah dan penglihatan, rasa penasaran menjadi mutlak adanya. 

Pokoknya yang berbau asing, selalu saja hasrat mencicipi semakin meronta-meronta.
Beda halnya dengan orang katrok berwajah agraris, sepertinya bisa muntah-muntah dikasih makanan yang jarang ditemukan di pelosok desa.

Ya begitulah NU menyoal kesetaraan gender. Ibarat kata, makanan asing yang telah disantap habis tak tersisa. Kalau 'toh' masih ada yang tersisa, paling-paling hanya sisa-sisa sambal di pinggiran piring.

Dalam perjalanannya yang malang melintang di tanah air, tentunya NU telah banyak makan asam garam. Bagaimana NU cekatan saat dihadapkan isu kesetaraan gender masuk ke Indonesia kisaran tahun 1990-an.

NU sebagai organisasi yang tak lepas dari 'tasywirul afkar', membuka ruang untuk wacana keseteraan gender itu dibahas pada Munas NU di NTB tahun 1997. Maka, jadilah suguhan menarik seputar 'Islam dan Kesetaraan Gender'.

Kebayang gak, bagaimana suasana forum Munas NU di NTB waktu itu membahas isu kesetaraan gender? 

Sesuatu hal asing ditelinga para kiai yang sehari-harinya sarungan dan melantunkan nazaman kitab-kitab klasik di Pesantren.

Pasti yang terbayang begitu alot pertentangan antara kiai-kiai yang menafsirkan kitab klasik secara 'taken for granted', dengan mereka yang menafsirkannya secara kontekstual.

Tapi hal itu wajar. Namanya pro kontra sudah menjadi sunatulah, yang terpenting sesudahnya bisa ngopi dan ketawa-ketawa lagi lewat humor khas orang-orang NU.

Dalam bukunya Jamal Ma'mur berjudul Rezim Gender di NU, terdapat dua tokoh yang berandil besar pada muktamar tersebut. Machrusah Taufik dan Najihah Muhtaram. Keduanya mampu meyakinkan para musyawirin merasionalisasikan topik pembahasan.

Andai waktu itu NU menolak adanya pemberdayaan perempuan, bukankah secara tidak langsung, NU telah bertolak belakang dengan negara yang saat itu sedang aktif menggemborkan pemberdayaan perempuan?

Keberhasilan kaum pembaharu melawan hegemoni tafsir agama yang terkesan bias gender dan patriarkis di Munas NU NTB, telah menjadi 'starting point' mendengungnya wacana kesetaraan gender dari forum NU ke forum NU.

Kader-kader muda NU yang tergabung dalam IPPNU, PMII Puteri, Fatayat, mulai giat membahas wacana tersebut waktu itu.

Begitupun saat Muktamar NU di Lirboyo pada tahun 1999, isu kepemimpinan perempuan, menjadi topik hangat yang kerap dibahas oleh organisasi yang didirikan para Ulama pada tahun 1926 itu. 

Namun kini, ada juga isu yang masih hangat kita dengar dan tak kalah menghebohkan lagi. 

Sampai-sampai banyak orang kagetnya bukan alang-kepalang, setelah mendengar kabar dan melihat di berbagai media, bahwa kepengurusan PBNU kini melibatkan keterwakilan perempuan dalam struktural.

Bagi orang yang sehat jiwa raganya, tentu kabar ini menjadi asupan gizi untuk ketahanan tubuhnya. Lain halnya yang punya riwayat penyakit jantung, kabar ini seolah menjadi ancaman bagi kesehatannya.

Ketukan palu sidang yang bertalu-talu seusai lembaran kertas berkop sakti PBNU memuat orang-orang kompeten versi Ketua Umum, menandakan telah resminya susunan kepengurusan PBNU periode 2022-2027.

Tak salah jika Gus Yahya sebagai Ketua Umum, membawa narasi besar, 'Menghidupkan Gusdur'. Buktinya, memang dalam sejarah Gus Dur memiliki andil besar dalam menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan.

Misalnya menolak tegas RUU Pornografi dan Pornoaksi, karena dinilai menjadi celah untuk menjerat perempuan kedalam dilema peran sosial.

Bahkan saat menjadi Presiden, Gus Dur mampu mempelopori hadirnya inpres presiden nomor 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender yang kemudian berubah jadi UU Keadilan dan Kesetaraan Gender.

Artinya, Gus Dur adalah sosok bagian yang mempengaruhi pikiran Gus Yahya dalam menyoal perempuan.

Meski kebijakan Gus Yahya menuai pro kontra dan sedikit menjadi hal asing bagi sebagian orang, tapi dengan segenap rasa hormat sehormat-hormatnya, takzim setakzim-takzimnya dan segala kerendahan hati, kita masih siap memanggil beliau itu sebagai kesatria.

Bagaimana tidak, ia telah mengukir sejarah baru. Dari masa ke masa, baru kali ini struktural PBNU melibatkan kaum hawa.

Hal itu menepis anggapan yang menilai NU sebagai organisasi kaum konservatif dan eksklusif yang menempatkan posisi perempuan dalam ruang domestik.

Sesudah kemerdekaan perempuan diperoleh di tubuh PBNU, masihkah suara bising tentang ketidak adilan gender gak berisik-berisik amat?

Para korban kekerasan seksual, para aktivis perempuan dan masyarakat pada umumnya, menunggu gelagat baik srikandi PBNU mempengaruhi kebijakan pemerintah yang semula diskriminatif dan eksploitatif menjadi ramah gender.

Kalau NU sudah tampil ke muka, apapun gagasan dan isi persoalannya, selalu merepotkan dunia. 

Kalau gak begitu, ya bukan NU namanya. Orang yang sering nyinyir sekalipun kadang kala sering kebakaran jenggot dibuatnya.

Tapi sekali lagi dalam konteks keterlibatan perempuan di tubuh PBNU, bukankah wajah PBNU kini kian romantis, bukan?

Banjar, 17 Januari 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun