Mohon tunggu...
Aji Muhammad Iqbal
Aji Muhammad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Amatir

Pantang meninggal sebelum berkarya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Akar Nasionalisme Kaum Santri

27 Oktober 2020   06:48 Diperbarui: 28 April 2022   12:50 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Aji Muhammad Iqbal

Tak perlu ditanyakan lagi soal nasionalisme kaum santri. Nasionalisme kaum santri bukanlah sekedar slogan semata seperti yang didengung-dengungkan oleh para kaum birokrat. Nasionalisme kaum santri adalah nasionalisme kerakyatan, mereka tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang desa, dan dari desalah mereka hidup dengan penuh kesederhanaan, tidak banyak 'neko-neko'. 

Mereka sangat yakin ungkapan Pramoediya Ananta Toer, bahwa kesederhanaan merupakan kekayaan terbesar di dunia ini. Kesederhanaan adalah suatu karunia alam. 

Dari desa juga mereka mampu mengembangkan potensi ekonomi pedesaan, dengan bertani dan bercocok tanam. Mereka pun dapat menghirup udara sejuk pedesaan, merasakan getaran perlawanan rakyat jika ada yang menindas dan bertindak sewenang-wenang terhadap tanah desanya. Dari desa mereka menjadi promotor budaya, menghidupkan rutinan yasinan, tahlilan, maulidan, rajaban, dan budaya lainnya.  

Sebenarnya apa yang menjadi kehidupan kaum santri di desa dan pesantren, merupakan akar kebangsaan rakyat Indonesia. Dari desa dan pesantren, mereka membangun solidaritas sosial yang kokoh, berdikari, ikhlas serta memiliki semangat etos kerja yang tinggi.

Kiai Saifudin Zuhri, dalam bukunya Guruku Orang-orang dari Pesantren, menulis tentang gambaran kehidupan santri. Menurutnya, para santri merupakan anak-anak rakyat. Mereka paham betul tentang arti dari kata rakyat, kebudayaan rakyat, keseniannya, agamanya, jalan pikirannya, cara hidupnya, semangat dan cita-citanya, suka dukanya, nasibnya, serta liku-liku kehidupan rakyat. 

Mereka, kata Kiai Saifudin Zuhri,  terlahir dari sana serta hidup dan matipun dari sana pula. Sebab itu, para santri dan kiainya benar-benar sangat paham bagaimana arti hidup dalam penjajahan. 

Sama halnya dengan Kiai Ahmad Baso. Ia menulis dalam bukunya Pesantren Studies, menafsirkan gambaran santri yang dikatakan oleh Kiai Saifudin Zuhri. Menurut Kiai Ahmad Baso, ada tiga aspek yang terdapat dari kata-kata Kiai Saifudin Zuhri, diantaranya aspek ontologis, aspek epistemologis dan aspek praksis. 

Menurut Kiai Ahmad Baso, aspek ontologis ini mencakup pada genealogis atau asal-usul dan sosiologis kaum santri. Dalam aspek ontologis tersebut, Kiai Ahmad Baso mengibaratkan jika dalam pepohonan, santri sebagai buahnya, sedangkan rakyat sebagai akarnya. 

Hal tersebut menegaskan bahwa klaim kaum santri harus mewakili terhadap kepentingan rakyat. Meskipun mobilitas sosial kaum santri kini telah beranjak dan sebagian masuk pada lingkaran elit, namun suara dan gerak langkahnya, tegas Kiai Ahmad Baso, harus menjadi kelanjutan dari suara dan gerakan rakyatnya.  

Ruang lingkup aspek epistemologis ini, kata dia, terdapat pada bagaimana santri paham tentang arti kata rakyat, paham tentang kebudayaan rakyat, agama rakyat, lalu jalan pikiran rakyat, cara hidup rakyat, semangat dan cita-cita rakyat, suka duka rakyat, nasib rakyat serta seluruh seluk beluk liku-liku hidup rakyat.

Sedangkan aspek praksis, santri dan kiai sangat paham betul bagaimana arti hidup dalam penjajahan. Artinya, pada level praksis inilah, santri sangat menolak segala bentuk penindasan, kekerasan, penghisapan dan penjajahan bagi siapa saja yang merampas hak hidup bangsa Indonesia. 

Dari pedesaan mereka berasal, dari pesantren mereka dididik dan digembleng oleh gurunya yang disebut kiai. Dari wawasan pengetahuannya, hingga mental populisnya. 

Menurut Soetomo, sebagaimana yang ditulis oleh Kenji Tsuchiya dalam buku Demokrasi dan Kepemimpinan: Kebangkitan Gerakan Taman Siswa, pesantren adalah tempat  di mana jiwa siapa saja yang egoistik dapat bermetamorfosis menjadi jiwa yang siap berkorban untuk kepentingan rakyat.

Meski sebagian orang masih tabu bicara pesantren, melihat pesantren hanya dalam fisiknya saja, berkutat pada soal jorok dan kurang mengindahkan kesehatan dan kebersihan, meminjam istilah Kiai Ahmad Baso, penggambaran yang seperti demikian adalah tipikal konstruk abad 20, namun soal idealisme pesantren yang anti kolonial janganlah diabaikan.  

Banjar, 22 Oktober 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun