Ada sebuah pertanyaan mendasar, bagaimana latar belakang lembaga legislatif didirikan? Jika tidak ada gunanya, mengapa tidak dibubarkan saja? Jawabannya ditemukan pada buku Marginalia karya Fauz Noor, seorang intelektual muda asal Tasikmalaya.Â
Kang Fauz, dalam esainya yang berjudul Parlemen itu menceritakan kondisi Raja Inggris yang memerintah tanpa ada hati nurani dan belas kasihan kepada rakyatnya.Â
Ia memaksa agar rakyat dapat membayar pajak sesuai dengan kebijakan yang ditentukan oleh raja. Namun kondisi itu tidak membuat para rakyatnya diam. Sekelompok orang yaitu para Baron dan Ksatria yang mengatas namakan wakil rakyat, siap berkorban nyawa mengatasi keserakahan raja Edward III yang mengepung kota Calais memaksa rakyatnya untuk membayar pajak.Â
Namun nahas, perlawanan itu tidak membuahkan hasil. Setelah raja Edward III mati, digantikan oleh Raja Edward IV, ini masa dimana para wakil rakyat itu menemukan titik terang.Â
Keinginannya agar raja tidak mengambil pajak dari rakyatnya itu tercapai. Seiring berjalannya waktu, perjuangan sekelompok orang yang mengatasnamakan wakil rakyat itu bergeser pada arah kebijakan raja. Agar raja tidak memerintah sekehendak hatinya, lalu dibuatlah sebuah produk hukum oleh wakil rakyat.
Jika mencermati sejarah tersebut, setidaknya kita perlu mengapresiasi atas semangat para wakil rakyat terdahulu yang berjuang demi kepentingan rakyatnya. Namun, walaupun sejarah itu telah usai, setidaknya ini menjadi acuan untuk bagaimana para anggota legislatif masa kini berjuang diatas kehendak rakyat.
Masa kini, sudah menjadi hal lumrah memang. Gedung tempat kegaduhan orang-orang wakil rakyat itu sepertihalnya sekolah SD. Didalamnya terdapat siswa dengan latar belakang keinginan yang beragam.Â
Ada yang rajin mendengarkan saja,ada yang rajin bertanya, ada yang rajin ngoceh sana sini, ada yang suka jalan-jalan, ada yang sering tidur di dalam kelas, bahkan ada yang sering absen dengan berbagai alasan.Â
Perumpamaan itu mestinya tidak demikian. Pola pikir wakil rakyat terhormat dengan anak SD itu sangat jauh berbeda, ibarat kata jauh tanggah ka langit. Mestinya, anggota legislatif itu sadar akan tugas, pokok dan fungsinya sebagai wakil rakyat, yang keberadaannya sangat diperlukan dalam upaya keberlangsungan roda pemerintahan yang baik.
Proses keinginan menjadi wakil rakyat, tidaklah mudah. Bahasa kasarnya perlu ongkos yang mahal. Tidak cukup hanya satu sampai lima juta yang habis hanya untuk membeli rokok dan kopi menjelang pemilu.Â
Bahkan untuk mengambil simpati masyarakat agar menjadi wakil rakyat saja zaman sekarang pun harus kerja ekstra keras, konsolidasi tiap hari, lobi sana sini,silaturrahim ke kyai, komunikasi tak berhenti, ah pokoknya mahal dan susah jadi wakil rakyat itu.Â
Tapi sayang, semua hanya untuk mengantarkan jadi wakil rakyat saja. Makna demokrasi, "Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat,"tidak pernah dihayati. Setelah enak duduk di kursi empuk, dengan Air Conditioner (AC) yang menyegarkan tubuh, kadang kala lupa akan tugas dan tanggung jawab pribadinya memegang amanah menjadi penyambung lidah rakyat.Â
Pantas saja jika Mahbub Djunai didalam esainya yang terbit di Kompas pada tanggal 19 Maret 1987 menyebut anggota legislatif sebagai orang yang terhormat.
"Tiap orang yang berakal sehat dan punya kesadaran bernegara, wajib menyebut seorang anggota DPR itu yang terhormat, karena anggota DPR itulah yang mesti mewakili rakyat untuk menyampaikan suara hati nuraninya, dan untuk perbuatan itu ia peroleh imbalan yang cukup tinggi, jauh lebih tinggi dibanding seorang pilot yang biasa terbang tinggi dan dengan penuh risiko tinggi pula.
Bagaimana terhadap anggota DPR yang tak pernah menyuarakan hati nurani rakyat  atau hati nurani siapapun juga, apakah beliau masih layak dijuluki "Yang Terhormat"? tampaknya memang begitu, sekali pangkat itu melekat di badan, dia akan nempel terus kemana pergi, kecuali kalau di pemilihan umum berikutnya penduduk tidak punya selera lagi melihat roman mukanya,"ungkap Mahbub.
Secara sederhana, gedung parlemen itu idealnya diperuntukan bagi orang-orang yang siap banyak omong. Bukan wakil rakyat namanya, jika kerjaannya hanya diam, hanya jalan-jalan, tak pernah mengusulkan pendapat di forum, mengemukakan gagasannya dalam pembuatan produk hukum. Saya sarankan jika ada dewan yang tidak banyak omong, lebih baik kelaut saja sana.Â
Bagaimana tidak, untuk berpikir dan ngomong saja tidak bisa, apalagi memperjuangkan kepentingan rakyatnya di legislatif, dinamika di forum itu keras bro, tarik ulur kepentingan itu menjadi hal yang biasa. Harus siap melawan, kepalkan tangan dan maju kemuka, berdebat jika pendapatnya tidak dilirik,semuanya itu demi rakyat.
Saya bersyukur, proses pesta demokrasi di Indonesia tahun 2019 telah usai, wabilkhusus di kota Banjar. Artinya, telah ada nama-nama terpilih yang menjadi refresentasi dari rakyatnya.Â
Maka, perlu kiranya para anggota DPRD kota Banjar yang baru ini melihat pada kinerja anggota DPRD sebelumnya, agar anggota DPRD kota Banjar yang baru terpilih dan akan dilantik di bulan Agustus tahun 2019 (insyaallah), dapat memaksimalkan kinerjanya, dengan tupoksi tiga point inti yang tidak boleh ditinggalkan:Â
1) Membuat produk legislasi daerah yang berpihak pada kepentingan rakyatnya;
2) Mempertajam hak budget DPRD kota Banjar supaya anggaran berpihak pada pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat kota Banjar yang unggul;
3) Memaksimalkan kontrol legislatif terhadap eksekutif dalam realisasi program prioritas kota Banjar.Â
Apalagi jika melihat letak geografis kota Banjar, dihimpit oleh Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Pangandaran, lintas provinsinya diapit oleh Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.
Ini menjadi tantangan besar agar kota Banjar tak hanya menjadi tempat lalu lalang para pengendara motor dan mobil dari arah Bandung menuju Jawa Tengah, ataupun sebaliknya, yang singgah ke kota Banjar hanya untuk mencari WC umum, mengenaskan sekali! Semoga jargon kota Banjar, Somahna Bagja di Buana dapat terwujud, amien.
Terakhir, mengutip lagu Iwan Fals, "Wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soalrakyat. Wakil rakyat, bukan paduan suara, hanya tau nyanyian lagu setuju. Bicaralah yang lantang jangan hanya diam!".
Wallahu A'lam bish-Showab
*) Tulisan ini dibuat saat mengikuti undangan menulis buku Literasi Aspirasi Milenial yang diselenggarakan oleh Ruang Baca Komunitas (RBK) Kota Banjar pada Tahun 2019
Oleh: Aji Muhammad Iqbal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H